Protes antikudeta di Myanmar menjelma menjadi konflik terbuka antara pasukan junta dan kelompok pemberontak etnis. Eskalasi kekerasan dalam beberapa pekan terakhir bahkan mengindikasikan ancaman perang saudara.

YANGON - Militer Myanmar terus menurunkan helikopter tempur dan senjata artileri untuk menumpas pemberontakan antijunta di kawasan timur. Operasi militer di Negara Bagian Kayah itu memaksa ribuan penduduk mengungsi dari kediaman masing-masing.

Warga di kawasan perbatasan Thailand itu mengklaim militer menembakkan senjata artileri dari Ibu Kota Loikaw ke arah Demoso, yang berjarak sekitar 15 kilometer. Kota itu dikabarkan saat ini diduduki Pasukan Pertahanan Rakyat.

Medan pertempuran di Kayah adalah satu dari sekian banyak front yang dihadapi militer junta. Sejak Kudeta 1 Februari, pasukan pemerintah tidak lagi menghadapi sekedar pemberontakan etnis minoritas, melainkan aliansi antara pemerintahan sipil tandingan Myanmar dan pemberontak.

"Sabtu (29/5) silam, Front Nasional Chin (CNF) menandatangani perjanjian untuk menyingkirkan kediktatoran dan mengimplementasikan sistem demokrasi federal," tulis Pemerintahan Nasional Bersatu atau NUG yang dibentuk sebagai pemerintahan tandingan oleh tokoh-tokoh sipil Myanmar.

NUG menyatakan pihaknya telah bersepakat untuk menjalin kemitraan yang setara dengan kelompok pemberontak kelompok minoritas Kristen tersebut. Sebelumnya pada 2015 silam, CNF menjalin gencatan senjata dengan militer di Myanmar, sebagai bagian dari proses demokratisasi Myanmar. Sejak itu banyak pejuangnya yang dikabarkan gantung senjata.

"CNF tidak punya kekuatan militer, jadi langkah ini hanya bersifat simbolik," kata Richard Horsey, pakar Myanmar di International Crisis Group (ICG). "Tapi walaupun begitu, langkah ini tetap signifikan karena melihat peran penting CNF dalam proses perdamaian, dan pemimpin-pemimpin politiknya di eksil yang sangat dihormati," imbuh dia.

Sejumlah kelompok pemberontak Myanmar mengecam aksi kudeta dan tindak kekerasan oleh militer terhadap warga sipil tidak bersenjata. Sebagian grup menampung dan bahkan melatih warga sipil yang melarikan diri ke wilayah mereka.

Sekolah Dibuka

Sementara itu dilaporkan bahwa sekolah-sekolah di Myanmar mulai dibuka pada Selasa (1/6) untuk pertama kalinya sejak militer merebut kekuasaan, tetapi para guru dan siswa memboikot untuk masuk kelas sebagai bentuk perlawanan mereka.

Junta bersikeras sekolah dibuka kembali setelah setahun diliburkan karena Covid-19, tetapi banyak pendidik telah memutuskan bahwa mereka tidak mau kembali ke pekerjaan yang mereka sukai itu karena takut ditangkap, disiksa dan dipaksa untuk mengajarkan propaganda kepada siswa.

Selain sekolah, sejumlah perguruan tinggi pun telah dibuka kembali, namun pengajaran di kampus-kampus perguruan tinggi itu hingga kini masih diboikot oleh para mahasiswanya. AFP/I-1

Baca Juga: