Konflik Iran dan Israel berpotensi mengganggu rantai distribusi logistik global sehingga dapat berdampak buruk bagi perkembangan sektor manufaktur, terutama di dalam negeri.

JAKARTA - Pemerintah perlu mewaspadai situasi meningkatnya ketegangan di Timur Tengah akibat konflik Iran dan Israel karena hampir semua sektor ekonomi dikhawatirkan turut terdampak. Tak hanya pasar keuangan dan komoditas, konflik tersebut juga memicu dampak negatif terhadap sektor industri di Tanah Air.

Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, mengkhawatirkan eskalasi konflik Israel dan Iran akan mengganggu pertumbuhan industri manufaktur RI. Sebab, perang akan mengganggu arus logistik sektor manufaktur sehingga kedua negara diharapkan dapat menahan diri demi menghindari perang terbuka.

"Eskalasi aja sudah pengaruhi, apalagi kalau terjadi perang. Ini akan mempengaruhi nggak hanya Indonesia, tetapi juga global," ungkapnya di sela-sela acara Halalbihalal di Gedung Kemenperin, Jakarta, Selasa (16/4).

Menperin menegaskan Indonesia harus cermat melihat situasi dan mengambil langkah yang tepat. Terlebih lagi, sektor manufaktur juga menghadapi tantangan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

"Ini sesuatu yang harus kita cermati, analisis, dan mengambil langkah yang tepat agar manufaktur kita tidak berdampak lebih dalam lagi terhadap pelemahan rupiah dan juga terhadap eskalasi hubungan memanas antara Iran dengan Israel," ungkapnya.

Dia mengatakan apabila perang benar-benar terjadi maka rantai logistik global akan terganggu. Sebab, kapal-kapal yang melintas di Asia Selatan, Asia Barat, hingga Terusan Suez akan terganggu. Karena itu, Agus meminta Iran dan Israel agar menahan diri.

Tak hanya itu, perang dikhawatirkan dapat mendorong kenaikan harga komoditas energi. Karena itu, Menperin menekankan perang tidak pernah membawa manfaat bagi industri manufaktur.

"Cost of energy (harga energi) pasti naik. Perang itu tidak akan pernah membawa manfaat ke industri manufaktur. Tidak akan pernah. Cost of production (ongkos produksi) naik, market (pasar) pasti terganggu. Kami harap nggak terjadi eskalasi," tandasnya.

Langkah Mitigasi

Merespons situasi tersebut, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) menyiapkan langkah mitigasi untuk meredam dampak dari eskalasi konflik di Timur Tengah, terutama pascaserangan Iran ke Israel pada 13 April lalu.

"Tentu berbagai skenario sudah dibahas. Tentunya menjaga defisit dalam rentang diperbolehkan oleh undang-undang," kata Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, seusai menghadiri rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (16/4).

Dari sisi perekonomian, kata Airlangga, terjadi lonjakan harga minyak akibat serangan Israel ke kedutaan Iran di Damaskus dan juga terhadap retaliasi yang dilakukan Iran. Dia mengatakan Selat Hormuz dan Laut Merah menjadi simpul penting ekspedisi minyak global yang membutuhkan mitigasi atas dampak konflik di Timur Tengah terhadap peningkatan biaya angkut atau freight cost sektor pelayaran.

"Dari segi ekonomi, Laut Merah dan Selat Hormuz menjadi penting karena di Selat Hormuz itu ada 33 ribu kapal minyak dan Laut Merah sekitar 27 ribu," katanya.

Dalam kesempatan itu, Airlangga menyatakan mitigasi yang kini dilakukan adalah menjaga aset investasi yang aman di saat kondisi ekonomi dunia terguncang oleh geopolitik. "Tentu yang harus kita mitigasi adalah beralihnya aset ke safe haven, dalam hal ini dollar AS, emas, nikel, yang juga mengalami kenaikan," katanya.

Menurut Airlangga, nilai tukar dan indeks harga saham global mengalami pelemahan. "Tapi, Indonesia dibandingkan peer countries relatif masih dalam situasi aman dan tentu kita perlu melakukan beberapa kebijakan, antara lain kebijakan fiskal dan moneter, menjaga APBN dan memonitor kenaikan logistik," ujarnya.

Baca Juga: