Tiga peraih Nobel Perdamaian mengecam invasi Russia ke Ukraina dan mendesak agar Presiden Putin dan Presiden Belarus harus diajukan pengadilan internasional.

OSLO - Para pemenang Nobel Perdamaian tahun ini dari Ukraina, Russia, dan Belarus, menyatakan visi mereka tentang dunia yang lebih adil dalam upacara penganugerahan di Balai Kota Oslo, Norwegia, pada Sabtu (10/12).

Mereka juga mengecam invasi "gila dan kriminal" yang dilancarkan Presiden Russia, Vladimir Putin, terhadap Ukraina.

Oleksandra Matviichuk dari Pusat Kebebasan Sipil Ukraina mengecam seruan untuk kompromi politik yang akan memungkinkan Russia mempertahankan beberapa wilayah Ukraina yang dianeksasi secara ilegal.

"Memperjuangkan perdamaian tidak berarti menyerah pada tekanan agresor, itu berarti melindungi orang-orang dari kekejamannya," ucap Matviichuk. "Perdamaian tidak bisa dicapai oleh negara yang diserang dengan meletakan senjata. Itu namanya bukan perdamaian, tapi pendudukan," imbuh dia dengan suaranya bergetar penuh emosi.

Matviichuk pun menyerukan bahwa Presiden Putin dan Presiden Belarus, Alexander Lukashenko, yang menyediakan wilayah negaranya bagi pasukan Russia untuk menyerang Ukraina, harus diajukan pengadilan internasional.

"Kita harus membuktikan bahwa supremasi hukum dan keadilan itu ada, meski tertunda," tegas dia.

Matviichuk dinobatkan sebagai salah seorang pemenang Nobel Perdamaian 2022 bersama kelompok HAM Russia Memorial, dan Ales Bialiatski, pemimpin kelompok HAM Belarus Viasna.

Penerima anugerah Nobel Perdamaian lainnya dari Russia yaitu Yan Rachinsky, ketua organisasi hak asasi manusia Memorial, juga turut mengecam Putin dengan menyatakan bahwa ambisi Kekaisaran Russia yang diwarisi dari bekas Uni Soviet masih berkembang hingga saat ini.

"Putin dan para pelayan ideologisnya telah membajak perjuangan antifasis untuk kepentingan politik mereka sendiri," kata Rachinsky. "Sekarang, perlawanan terhadap Russia disebut fasisme, dan telah menjadi pembenaran ideologis untuk perang agresi gila dan kriminal terhadap Ukraina," imbuh dia.

Sementara peraih anugerah Nobel Perdamaian lainnya dari Belarus, Ales Bialiatski, tak bisa hadir dalam acara penganugerahan ini karena sejak Juli 2021 telah ditahan. Bialiatski pun tidak diizinkan untuk mengirimkan pidato bagi upacara penyerahan Nobel ini.

Penerimaan anugerah Nobel Perdamaian bagi Bialiatski diwakili oleh istrinya, Natalia Pinchuk. Dalam pidatonya, Pinchuk menyerukan agar kediktatoran internasional dilawan.

Selain penyerahan anugerah Nobel Perdamaian, anugerah Nobel di bidang kedokteran, fisika, kimia, sastra dan ekonomi, secara bersamaan diserahkan dalam sebuah upacara terpisah di Stockholm.

Pernyataan Medvedev

Sementara itu dari Moskwa dilaporkan bahwa mantan Presiden Russia, Dmitry Medvedev, pada Minggu (12/11) mengatakan bahwa Russia sedang meningkatkan produksi senjata generasi baru untuk melindungi diri dari musuh-musuh di Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Australia.

"Kami meningkatkan produksi alat pemusnah yang paling kuat. Termasuk yang didasarkan pada prinsip-prinsip baru," ucap Medvedev di aplikasi media sosialTelegram. "Musuh kita menempatkan (senjata) tidak hanya di provinsi di negara asal kita, Malorossiya," kata Medvedev, menggunakan istilah untuk menggambarkan wilayah Ukraina modern yang merupakan bagian dari Kekaisaran Russia di bawah tsar.

"(Penempatan senjata) itu juga ada di Eropa, Amerika utara, Jepang, Australia, New Zealand, dan sejumlah besar tempat lain yang berbaiat kepada Nazi," imbuh dia.

Medvedev, yang menjabat sebagai wakil kepala Dewan Keamanan Russia, tidak memberikan rincian tentang senjata tersebut. Namun Presiden Putin berulang kali telah mengatakan bahwa Russia telah mengembangkan jenis senjata baru termasuk senjata hipersonik yang

lebih modern dan bahkan lebih efisien daripada yang dimiliki AS. AFP/I-1

Baca Juga: