Lembaga peradilan dan dunia hukum kembali tercoreng setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap hakim anggota Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu Dewi Suryana, panitera pengganti di PN Tipikor Bengkulu Hendra Kurniawan, dan seorang PNS bernama Syuhadatul Islamy dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) di Bengkulu dan Bogor, pekan lalu.

KPK telah menetapkan mereka sebagai tersangka suap. Suap untuk Dewi dan Hendra diduga terkait penanganan perkara nomor 16/Pid.Sus-TPK/2017 PN Bgl dengan terdakwa Wilson. Commitment fee untuk keduanya sebesar 125 juta rupiah dari Syuhadatul Islamy.

Penangkapan hakim Dewi Suryana dan Hendra Kurniawan karena lemahnya pengawasan peradilan. Secara kelembagaan atau fungsional, pengawasan menjadi tanggung jawab Badan Pengawasan pada Mahkamah Agung (Bawas MA).

Saat ini diperkirakan ada ratusan satuan kerja yang terdiri dari hakim, panitera, dan pegawai pengadilan lainnya di seluruh Nusantara yang harus diawasi Bawas MA. Sayang, Bawas di pusat itu sangat terbatas sumber daya manusia dan anggarannya. Mengawasi hampir 900 satuan kerja, tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi yang diawasi bukan hanya perilaku, tapi juga administrasi perkara, administrasi persidangan, keuangan, dan lainnya.

Selain pengawasan Bawas MA, memang ada pengawasan melekat oleh atasan secara rutin baik berupa tindakan preventif maupun evaluasi. Pengawasan melekat diatur dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 8/2016. Bila pimpinan tidak melakukan pengawasan dengan baik, akan dikenakan sanksi.

Namun, dalam penerapannya, pengawasan melekat sangat kurang tertib. Padahal, pengawasan atasan kepada bawahannya menjadi penambal pengawasan fungsional. Karena itulah Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu Kaswanto terpaksa dinonaktifkan karena terkait implementasi Perma tersebut.

Berdasarkan catatan Komisi Yudisial (KY), sejak 2016 terdapat 28 aparat pengadilan dari berbagai unsur jabatan ditangkap KPK, mulai dari hakim, panitera, sampai pegawai pengadilan. Satu bulan lalu, KPK juga menangkap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi.

Sebagai induk lembaga peradilan, kita berharap MA mengambil langkah-langkah tegas atas setiap pelanggaran aparat pengadilan. Menonaktifkan sementara Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu, Kaswanto salah satu tindakan tegas itu. Sanksi demikian dapat menjadi pelajaran agar senantiasa tidak bosan melakukan pembinaan sekaligus memberi keteladanan dalam melakoni setiap profesinya.

MA dan KY perlu duduk bersama dan bekerja sama membangun sistem pemantauan hakim pasca-OTT. Kerja sama MA dan KY ini tidak perlu dilakukan secara terang-terangan untuk memantau para hakim. Cukup kalangan tertentu yang mengetahui, sehingga bisa dimotinor secara diam-diam.

Penangkapan hakim dan panitera pengganti memang mengundang reaksi keras MA. Bahkan, Ketua Muda Bidang Pengawasan MA Sunarto mengatakan, apabila ada aparat-aparat badan peradilan yang sudah tidak bisa dibina, "binasakan" saja kariernya!Ancaman Sunarto sangat beralasan. Pimpinan MA mulai dari Ketua MA sampai pejabat eselon I sudah turun langsung membina. Berbagai upaya dilakukan MA. Namun, faktanya masih saja ada aparat badan peradilan nakal. Karena itu, MA tidak akan pernah toleransi segala bentuk pelanggaran.

Salah satu inovasi MA dalam "membersihkan" lembaga peradilan dengan menjalin kerja sama dengan KPK secara berkesinambungan baik dalam penindakan maupun pencegahan. Penangkapan hakim dan panitera pengganti PN Bengkulu ini menjadi salah satu contohnya. Sebab, ternyata, informasi mengenai dugaan indikasi penerimaan uang di PN Bengkulu yang akhirnya berujung OTT bersumber dari tim pemantau atau surveillance MA.

Baca Juga: