JAKARTA - Implementasi Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SSPA) belum sesuai harapan sebab beberapa hak anak yang telah dijamin di dalam UU SPPA belum dapat dipenuhi. Sebagai contoh, hak anak untuk sebisa mungkin dijauhkan dari penahanan dan pemenjaraan.

Genoveva Alicia KS Maya, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan itu di Jakarta, Minggu (26/7). Menurut Genoveva, pada 2018, ICJR melakukan riset untuk mengevaluasi implementasi UU SPPA. Hasil riset menunjukkan beberapa hak anak yang telah dijamin di dalam UU SPPA belum dapat dipenuhi.

"Dari riset ini, terlihat bahwa penahanan dan pemenjaraan masih sangat sering digunakan terhadap anak," ujarnya.

Dikenakan Penahanan

Dari total 304 anak yang diteliti dalam riset tersebut, 93,75 persen anak dikenakan penahanan. Tidak hanya dikenakan penahanan, riset ini juga menemukan adanya anak yang ditahan melebihi waktu yang diizinkan di dalam UU SPPA. Sedangkan pemenjaraan setidaknya dikenakan pada 86 persen anak di tingkat pertama. Setidaknya 80 persen penuntut umum dalam tuntutannya, menuntut anak dengan pidana penjara.

"Catatan yang perlu diapresiasi adalah secara umum jumlah anak yang dipidana penjara pasca pemberlakuan UU SPPA trennya menurun. Namun, per Juni 2020, jumlah anak yang ada di dalam Rutan atau Lapas mencapai 1.397 orang," kataGenoveva.

Jumlah ini, menurutnya, tidak termasuk anak yang dirampas kebebasannya namun ditempatkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Angka ini, masih cukup tinggi melihat jenis tindak pidana yang dilakukan anak, beberapa adalah victimless crime atau anak juga adalah korban.

"Negara harus memahami bahwa menempatkan anak di dalam Rutan atau Lapas, memberikan kerentanan tersendiri khususnya mengingat buruknya situasi Rutan atau Lapas di Indonesia," katanya.

Tidak hanya itu, kata dia,di beberapa kota, meskipun Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) diamanatkan untuk dibangun terpisah dengan Rutan atau Lapas dewasa, karena keterbatasan LPKA harus dibangun menyatu dengan Rutan atau Lapas. Sebagai contoh di DKI Jakarta misalnya, LPKA Jakarta berada di lokasi yang sama dengan Lapas Salemba. Setiap harinya, anak beraktivitas bersama dengan orang dewasa atau setidaknya menyaksikan aktivitas orang dewasa di kawasan yang sama.

"Belum lagi, kondisi buruk pemenuhan hak dasar atas anak di dalam penjara, seperti kondisi penyediaan makanan dan pelayanan kesehatan. ICJR dalam riset situasi Rutan atau Lapas di DKI Jakarta pada 2019 menemukan kondisi pemenuhan air minum di LPKA tidak sesuai dengan standar, karena air yang ada diklaim memiliki rasa yang berbeda," ujarnya.

Genoveva menambahkan secara umum, situasi pemenuhan hak fair trial anak dapat dikatakan masih belum cukup berpihak pada kepentingan anak. n ags/N-3

Baca Juga: