KARAWANG - Rahmat Hidayat kehilangan pekerjaannya ketika pabrik sepatu tempat dia bekerja tutup tahun lalu di kota industri, Karawang, di Jawa Barat, Indonesia. Dikutip dari Hindustan Times, pria berusia 44 tahun itu kini memperoleh penghasilan kurang dari setengah dari penghasilannya dulu dengan berjualan bakso panggang.

Dia akhirnya menanam herbal untuk dijadikan tonik karena tidak mampu membeli obat diabetes istrinya. Rahmat adalah satu dari jutaan warga Indonesia dari kelas pekerja hingga kelas menengah menjadi lebih miskin, sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menurunnya kesempatan kerja sejak pandemi.

Tren ini menjadi pertanda buruk bagi prospek ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dengan konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari separuh produk domestik bruto, serta tesis investasi yang dianut secara luas bahwa kelas menengah yang berkembang akan mendorong ambisi Indonesia untuk menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045.

Hal itu juga menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang memenangkan pemilihan umum pada bulan Februari dengan kemenangan telak atas janji-janjinya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan.

Prabowo akan mulai menjabat pada tanggal 20 Oktober. "Mendorong ekonomi untuk tumbuh lebih tinggi dengan konsumsi yang lemah adalah hal yang sulit," kata ekonom di Pusat Reformasi Ekonomi, Mohammad Faisal, di Jakarta. Pemerintah menggolongkan mereka yang menghabiskan antara 132 hingga 643 dollar AS per bulan sebagai kelas menengah, berdasarkan kriteria Bank Dunia. Kelompok itu merupakan kunci pertumbuhan ekonomi karena pengeluaran mereka mencakup hampir 40 persen dari konsumsi swasta, dan lebih dari 80 persen jika digabungkan dengan calon kelas menengah, yang menghabiskan 57 hingga 132 dollar AS.

Namun demikian, ukuran kelas menengah telah turun dari 21,5 persen dari total populasi pada tahun 2019 menjadi 17,1 persen pada tahun 2024, menurut data resmi yang dirilis bulan lalu. Meskipun ekonomi RI telah bangkit setelah pandemi, dengan pertumbuhan sekitar di atas 5 persen per tahun sejak 2022 di tengah inflasi yang umumnya rendah, kelas menengah yang menyusut itu kemungkinan akan menekan pertumbuhan di masa mendatang.

"Pemerintah harus berjuang dengan pendapatan pajak yang lebih rendah dan kemungkinan lebih banyak subsidi. Dalam jangka panjang, jika kelas menengah menyusut, tentu akan menjadi beban besar bagi negara," kata Jahen Rezki, analis dari Universitas Indonesia.

Salah satu alasan utama runtuhnya kelas menengah adalah perubahan pasar tenaga kerja. Sebagian besar investasi asing yang masuk ke Indonesia telah menargetkan industri seperti pertambangan, yang penyerapan tenaga kerjanya semakin sedikit karena makin banyak menggunakan teknologi mutakhir. Selain itu, persaingan yang lebih ketat dari tujuan biaya rendah seperti Tiongkok, terutama di sektor tekstil, telah menekan pabrik-pabrik, yang menyebabkan PHK yang menurut asosiasi tekstil adalah yang terburuk dalam dekade terakhir.

Ciptakan Lapangan Kerja

Pengusaha Hashim Djojohadikusumo, mengatakan pemerintahan yang akan datang akan membantu kelas menengah dengan menciptakan jutaan lapangan kerja baru dari proyek-proyek seperti program makanan gratis senilai 28 miliar dollar AS dan pembangunan jutaan rumah.

"Kami ingin menciptakan banyak wirausahawan kecil, menengah, dan mikro, misalnya melalui program perumahan kami. Kami ingin membangun tiga juta unit rumah, di desa dan kota. Itu untuk menciptakan kelas menengah," katanya baru-baru ini.

Baca Juga: