JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memetik pelajaran dari fenomena bubble property (penggelembungan properti) oleh perusahaan pengembang (real estat), Evergrande, di Tiongkok. Otoritas harus mengevaluasi pada sistem pendanaan agar tidak digunakan untuk ajang spekulatif.

Pakar Ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Rabu (22/9), mengatakan dengan mengevaluasi regulasi maka perbankan akan lebih mengutamakan pendanaan untuk sektor riil, terutama untuk membangun ketahanan pangan dan ekonomi kerakyatan.

"Sebagai otoritas, BI dapat mengatur perbankan yang selama ini menyalurkan kredit, dengan mengatur besaran Loan To Value (LTV) untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan uang mukanya, terutama terhadap pembeli di kota besar yang cenderung spekulatif," kata Leo.

Hal itu bisa dengan mengenakan suku bunga lebih tinggi, sedangkan daerah-daerah yang baru akan bangkit, di mana calon pembelinya memang masih membutuhkan rumah, perlu didukung dengan suku bunga kredit yang lebih rendah. Alokasi kredit perbankan, jelasnya, harus lebih berpihak pada masyarakat yang mayoritas di perdesaan, terutama kredit ke sektor pertanian dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai industri olahan yang menyerap tenaga kerja terbesar di perdesaan.

"Jangan sektor properti terus yang dikasih, perbankan perlu menyediakan alokasi kredit ke pertanian dan UMKM setidaknya hingga 25 persen," kata Leo.

Sebelumnya dalam sebuah video dramatis yang direkam di kota barat daya Kunming, pada Agustus, memperlihatkan skala gelembung properti Tiongkok. Warga yang menonton berteriak kagum ketika apartemen 15 blok bertingkat tinggi dihancurkan oleh 85.000 ledakan terkendali dalam waktu kurang dari satu menit.

Kompleks bangunan yang belum selesai bernama Sunshine City II itu telah kosong sejak 2013, setelah satu pengembang kehabisan uang dan yang lain melakukan kesalahan konstruksi.

"Bekas borok perkotaan yang berdiri selama hampir 10 tahun ini akhirnya menjadi langkah kunci menuju restorasi," kata sebuah artikel di Kunming Daily, setelah pembongkaran.

"Bekas borok perkotaan" seperti itu umum terjadi di seluruh Tiongkok, di mana Evergrande, perusahaan properti yang paling banyak dililit utang di dunia, mengalami krisis likuiditas yang bisa menjadi terminal. Krisis di perusahaan, yang dua tahun lalu menempati peringkat sebagai saham properti paling berharga di dunia, kini jadi sorotan yang cepat karena kekayaan perusahaan sudah mulai terurai dan memperlihatkan kelemahan mendalam dalam model pertumbuhan Tiongkok.

Dari semua drama puncak kehancuran Evergrande, hanyalah gejala dari masalah yang jauh lebih besar. Sektor real estat Tiongkok yang luas, yang menyumbang 29 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara itu, sangat berlebihan sehingga mengancam untuk melepaskan perannya yang sudah berlangsung lama sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Sebaliknya, kini menjadi hambatan.

Kelebihan Pasokan

Menurut Direktur Rhodium Group, sebuah konsultan yang berbasis di Hong Kong, Logan Wright, ada cukup properti kosong di Tiongkok untuk menampung lebih dari 90 juta orang. Jika dianalogikan ada lima negara anggota G-7, yakni Prancis, Jerman, Italia, Inggris, dan Kanada yang dapat menampung seluruh populasi mereka ke dalam apartemen Tiongkok yang kosong tersebut.

"Kami memperkirakan inventaris perumahan yang ada tetapi tidak terjual berada di kisaran tiga miliar meter persegi, yang cukup untuk menampung 30 juta keluarga, secara konservatif," kata Wright.

Baca Juga: