Oleh Antoni Putra
Sistem politik Indonesia saat ini tengah mengarah pada oligarki parpol. Nasib negara hanya ditentukan segelintir elite partai dengan lobi-lobi kepentingan. Tidak jarang, praktik tersebut harus mengorbankan kepentingan bangsa dan negara. Praktik demokrasi saat ini terlalu liberal di tengah masyarakat yang masih memiliki budaya patron. Proses berpikir elite parpol seperti kehilangan orientasi. Mereka tidak menyadari tujuan bangsa.
Akibatnya, terjadi stagnasi dan pengerdilan kedaulatan rakyat. Nilai-nilai dasar para pendiri bangsa hilang dan tergantikan kepentingan dengan mengorbankan nalar dan kualitas demokrasi demi politik kekuasaan. Persoalan mendasar yang menyebabkan oligarki partai dan kualitas demokrasi Indonesia menurun karena politik SARA dan kebencian.
Ada juga ambang batas pencalonan presiden (presidential Threshold). Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diatur, hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah secara nasional bisa mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan partai berkoalisi untuk mengusung calon presiden. Masalahnya, koalisi yang dibentuk parpol tidak berorientasi untuk menyediakan pilihan terbaik. Parpol berdasarkan kepentingan dengan merapat pada koalisi yang paling menguntungkan. Akhirnya, terjadilah koalisi gemuk dengan minim calon. Tapi apa boleh buat, kini sudah tersedia pilihan: Jokowi dan Prabowo, pilihan yang sama dengan Pemilu 2014 silam. Bedanya hanya pendamping. Jokowi didampingi KH Ma'aruf Amin, sedangkan Prabowo didampingi Sandiaga Salahuddin Uno.
Sebenanrnya tidak ada yang salah dengan Jokowi memilih KH Ma'aruf Amin sebagai pendamping. Tapi, selama ini mereka gencar menolak politik identitas. Walaupun didammpingi KH Ma'aruf Amin, tidak akan terlalu memengaruhi publik untuk memilih Jokowi.
Sementara itu, Prabowo memang belum ada bukti yang menjadi tolok ukur memimpin negara. Tapi, dengan beban dosa masa lalu yang disematkan kepadanya, terutama tudingan keterlibatan dalam penculikan aktivis 98 yang sampai kini belum tuntas, juga menyebabkan dia sulit menjadi pilihan ideal. Apalagi jika mengingat Prabowo sudah tidak menjadi pilihan dalam dua edisi pemilu presiden sebelumnya.
Kehadiran Sandiaga Uno sebagai pendamping bisa saja jadi pembeda. Ini terutama dalam menggaet pemilih pemula. Sandiaga dianggap lebih mewakili kaum milenial ketimbang kandidat lain. Tetapi, apabila cara-cara yang digunakan pendukung Prabowo tetap mengandalkan politik pencitraan atau cara-cara yang menghina akal sehat, tetap saja tidak akan mampu menarik pemilih pemula. Mereka lebih melek informasi.
Perpolitikan di negara ini seolah tidak pernah jauh dari SARA dan kebencian. Baru saja koalisi terbentuk dan arah partai-partai sudah kelihatan. Kini, elite politik dari partai-partai tersebut sudah mulai berjualan kebencian. Bahkan, partai yang dari awal begitu gigih menolak politik identias dan menolak intoleran, malah menjadi paling aktif menyerang lawan dengan isu-isu berbau SARA.
Memang langkahnya tidak secara spesifik berkampanye menggunakan isu SARA, namun masyarakat sudah cukup tahu arahnya seperti membandingkan SBY dan BJ. Kemudian, yang tidak kalah buruknya, membandingkan latar belakang pendidikan dari para calon. Sungguh, ini tentu keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
Politik yang seharusnya mengedepankan kualitas dan intelektual seolah tidak pernah ada. Yang dikedepankan hanyalah nalar-nalar kebencian untuk saling menjatuhkan. Tidak ada gagasan nyata untuk membangun bangsa. Ini tentu menggambarkan kualitas politisi, suatu keadaan yang sungguh memalukan. Cara-cara yang dilakukan menghina akal sehat dan mengesampingkan nilai-nilai yang selama ini menjadi perekat bangsa.
Aturan Tegas
Untuk persoalan presidential threshold, tentu sudah tidak ada pilihan. Walaupun nantinya judicial review diterima Mahkamah Konstitusi, sudah tidak ada artinya lagi terhadap Pemilu 2019 karena putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah berlaku surut. Kemudian, perihal politik SARA dan kebencian, negara sebagai penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) harus memiliki langkah jitu untuk meredamnya. Caranya sederhana, dengan membentuk aturan yang tegas terhadap politisi dan parpol yang menjadikan SARA dan kebencian sebagai senjata.
Pembentukan peraturan tersebut belum terlambat. KPU dan Bawaslu harus segera merumuskan aturan yang tegas untuk melarang politisi dan parpol berkampanye berbau SARA dan kebencian. Aturan tegas tersebut dapat berupa pelarangan ikut pemilu bagi politisi dan parpol.
Jika pelakunya individu yang sedang mencalonkan diri dalam pemilu, dia harus didiskualifikasi. Jika pelakuknya parpol, partai tersebut tidak boleh ikut Pemilu 2019. Tapi jika yang melakukan pendukung dari salah satu calon, sanksinya tetap ditanggung individu dan parpol bersangkutan. Sebab individu calon dan partai pengusung harus bertanggung jawab terhadap pendukungnya. Mereka harus mampu mengontrol pendukungnya agar tidak melakukan kampanye berbau SARA dan kebencian.
Aturan yang tegas itu diperlukan sebab penggunaan idiomSARA dan kebencian dalam pemilu menjadi ancaman terbesar yang dapat menimbulkan perpecahan. Poros-poros politik harus bisa meredam yang dapat menimbulkan perpecahan. Kesatuan dan persatuan Indonesia jauh lebih penting dari tujuan apa pun.
Penulis Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia