Penurunan gap antara tingkat literasi dan inklusi masih lambat, yakni dari 38,16 persen pada 2019 menjadi 35,42 persen pada 2022 sehingga membuat kasus penipuan di sektor keuangan masih tinggi.

JAKARTA - Peran literasi keuangan sangat penting guna memangkas kasus investasi bodong yang makin banyak memakan korban di Indonesia. Salah satu penyebabnya masih lebarnya gap antara tingkat penetrasi layanan jasa keuangan dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap produk jasa keuangan.

"Masyarakat biasanya terjerat investasi bodong karena ada iming-iming, sifat greedy, dan merasa mampu mengelola risiko," kata Peneliti Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Etikah Karyani Suwondo, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (4/6).

Etikah menilai banyaknya masyarakat yang terjerat investasi bodong menandakan adanya inklusi keuangan yang tinggi, namun literasi keuangan belum begitu baik. Karena itu, edukasi masyarakat mengenai layanan jasa keuangan perlu ditingkatkan lagi.

Masyarakat pun perlu waspada dengan tawaran bunga yang tinggi karena semakin tinggi bunga yang ditawarkan maka risikonya pun semakin besar.

Untuk itu, masyarakat harus jeli dalam memilih investasi, terutama dalam memperhatikan logo dari regulator jasa keuangan seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Pasalnya, banyak Lembaga Keuangan (LK) yang menggunakan logo dan mengatasanamakan LPS. Padahal, LK tersebut merupakan nonbank, sehingga jika terjadi masalah maka dana simpanan tidak mendapat jaminan dari LPS.

Lebih lanjut, Etikah menjelaskan biasanya LK tersebut memberikan iming-iming keuntungan yang tinggi dalam waktu singkat dan janji tanpa risiko.

Hal itu sering terjadi di masyarakat terutama pada konsumen yang cenderung memiliki sifat greedy. Lalu, ada juga penyedia investasi yang tidak kredibel.

Karena itu, pastikan bahwa perusahaan investasi telah terdaftar atau mendapatkan izin dari lembaga yang berwenang seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Penyedia investasi ilegal biasanya juga tidak memberikan informasi yang jelas atau menghindari pertanyaan-pertanyaan kritis," jelasnya.

Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen, naik dibanding 2019 yang hanya 38,03 persen. Sementara indeks inklusi keuangan tahun ini mencapai 85,10 persen meningkat dibanding periode SNLIK sebelumnya pada 2019 yaitu 76,19 persen.

Senada dengan pendapat Etikah, pengamat perbankan, Paul Sutaryono, menilai maraknya kasus investasi bodong disebabkan oleh rendahnya literasi keuangan konsumen.

Di samping itu, rendahnya kebiasaan membaca atau reading habit para konsumen juga menjadi penyebab tambahan sehingga masyarakat yang mempunya inklusi keuangan yang baik dengan literasi rendah, cenderung rentan menjadi korban.

Sosialisasi Ditingkatkan

Karena itu, OJK dan bank serta lembaga keuangan nonbank wajib terus-menerus melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai produk dan jasa perbankan, investasi, dan keuangan.

Terdapat banyak hal yang harus dipahami dan banyak tantangan yang perlu dihadapi dalam berinvestasi.

Apalagi sifat ingin cepat untung atau greedy menjadi sifat yang sangat melekat sekali pada pelaku investor, tentu saja hal itu menjadi kesempatan bagi penyedia investasi bodong untuk mengelabuinya.

Baca Juga: