Selama Juli 2019–Juli 2020, BI pangkas bunga acuan sebesar 175 basis poin (bps) menjadi 4,00 persen, sementara bunga kredit perbankan hanya turun 74 bps menjadi 9,99 persen.
JAKARTA - Agresivitas Bank Indonesia (BI) memperlonggar bunga acuan ternyata belum mampu ditransmisikan secara cepat oleh perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit. Alhasil, penurunan bunga kredit perbankan berjalan lambat.
Ekonom Senior, Aviliani, menilai lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan dan penyaluran kredit pada masa pandemi Covid-19 seperti ini seharusnya tidak dapat dipaksakan. "Saat restrukturisasi usaha mereka (UMKM) belum maju, gimana mereka dikasih kredit? Kalau dipaksakan, mungkin dalam waktu satu atau dua tahun lagi terjadi kredit macet," ujar Aviliani kepada Koran Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurutnya, pemerintah saat ini tidak seharusnya memaksakan perbankan memacu penyaluran kredit. Namun, harus dipikirkan adalah perhitungan waktu belanja yang tepat waktu untuk meningkatkan permintaan.
Dia menambahkan percepatan belanja pemerintah baik pusat maupun daerah akan menciptakan demand side (permintaan) sehingga akan memacu penyaluran kredit. "Kita tidak perlu memaksakan mereka (sektor riil) dapat kredit, tapi bagaimana belanja pemerintah dapat tepat waktu. Misalnya, sekarang belanja kesehatan baru 1 persen, BLT (bantuan langsung tunai) dan bansos belum tepat sasaran. Belanja APBD dipercepat, menimbulkan demand, dan ruang kredit ada," pungkasnya.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menilai penurunan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) hingga mencapai 175 basis poin (bps) menjadi 4,00 persen belum mampu diimbangi penurunan suku bunga kredit perbankan.
"Sejauh ini sudah menurunkan 175 basis poin tapi memang taransmisi di perbankanya masih lambat, jadi kita sudah menurinkan 175 bps, tapi suku bunga kredit baru turun sekitar 74 basis poin," ujar Destry dalam diskusi virtual, Jakarta, Jumat (17/7).
Padahal, lanjutnya, kondisi industri perbankan Tanah Air saat pandemi Covid-19 masih lebih baik dibandingkan saat krisis pada 1998 dan 2008. Ini dapat dilihat dari rasio modal (CAR) dan alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/ DPK) masih berada di atas level minimal.
Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio CAR perbankan Tanah Air Per Mei 2020, mencapai 22,16 dan AL/ DPK mencapai 24,33 persen. Hingga Mei 2020, kredit perbankan tumbuh sebesar 3,04 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (yoy). Penghimpunan DPK perbankan tumbuh sebesar 8,87 persen (yoy). Apabila dibandingkan dengan April 2020, kredit perbankan tumbuh 5,73 persen (yoy) dan DPK perbankan pada April 2020 tumbuh 8,08 persen (yoy).
NPL Terkendali
OJK menyebutkan profil risiko lembaga jasa keuangan pada Mei 2020 masih terjaga pada level terkendali dengan rasio non-performing loan (NPL) tercatat sebesar 3,01 persen (gross) dan rasio non-performing financing (NPF) sebesar 3,99 persen (gross). Risiko nilai tukar perbankan dapat dijaga pada level rendah terlihat dari rasio Posisi Devisa Neto (PDN) sebesar 2,31 persen, jauh di bawah ambang batas ketentuan sebesar 20 persen.
Sementara itu, sejak Juli 2019 hingga Juli 2020, rata-rata suku bunga kredit mencapai 9,99 persen atau turun 74 basis poin dari 10,73 persen. Sedangkan bunga deposito turun lebih banyak yakni sebesar 116 basis poin dari 6,66 persen menjadi 5,50 persen.
uyo/Ant/E-10