» Diskonto dari face value selama ini selalu disembunyikan pemerintah.
» Tanpa disiplin fiskal yang kuat, hal ini dapat menempatkan perekonomian dalam risiko utang yang lebih besar.
JAKARTA - Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) Seri FR0105 yang bertenor 40 tahun. Instrumen obligasi itu menjadi yang terpanjang di pasar domestik. Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan strategi pemerintah untuk memperlambat kewajiban pembayaran utang dilakukan dengan memperpanjang jatuh tempo utang.
Menurut Badiul, kondisi tersebut dapat menimbulkan risiko jangka panjang yang bisa mempersempit celah fiskal meskipun dalam jangka pendek dapat mengurangi beban pembayaran utang. Kebijakan itu dalam jangka panjang juga akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena pemerintah tetap harus bayar kupon secara rutin pada pemegang obligasi. "Dengan tenor yang lebih panjang juga berdampak pada akumulasi bunga utang yang harus dibayar semakin besar," tegas Badiul.
Selain itu, langkah tersebut akan berdampak pada peningkatan rasio utang atas Produk Domestik Bruto (PDB) pada masa mendatang, terlebih jika pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan baban utang. Di tengah situasi ekonomi yang serba tidak menentu, obligasi dengan tenor panjang juga akan menimbulkan pertanyaan pasar dan investor. "Ini bisa berdampak pada minat investor pada Surat Utang Negara (SUN). Karena itu, pemerintah perlu lebih hati-hati dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan utang," tandas Badiul.
Hal yang tidak kalah penting, jelas Badiul, adalah dalam jangka panjang strategi itu akan memerlukan pengelolaan utang yang cermat, termasuk kemampuan untuk mengelola defisit dan belanja negara secara efektif. "Tanpa disiplin fiskal yang kuat, kebijakan ini dapat menempatkan perekonomian dalam risiko utang yang lebih besar di masa depan," ungkap Badiul. Ia juga mengatakan, surat utang yang berjangka panjang, akumulasi bunganya semakin besar karena suku bunga yang ditawarkan harus lebih tinggi dari surat utang jangka pendek. "Kalau SUN sekarang katakanlah bunganya tujuh persen, yang 40 tahun bisa 10 sampai 11 persen. Kalau rupiah harus diperhitungkan juga depresiasinya," katanya.
Sebagai gambaran, 40 tahun lalu, tahun 1984, kurs dollar AS terhadap rupiah sekitar 1.050. Kini satu dollar AS setara dengan 15.500 rupiah. Yang jelas SUN berjangka waktu 40 tahun tidak baik untuk RI karena disiplin pelunasan RI buruk. Selain itu harus ada diskon besar-besaran, harus dijual 80-90 persen dari nilai nominal. Misalnya utang 10 miliar rupiah maka pemerintah hanya akan menerima 8-9 miliar rupiah saja. Itu pun dengan suku bunga yang lebih tinggi.
"Diskonto dari face value selama ini selalu disembunyikan pemerintah," kata Badiul. Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menyatakan meskipun strategi SUN tenor panjang dapat memberikan kelonggaran anggaran dalam jangka pendek, kebijakan itu juga berpotensi memperberat beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa depan. "Penerbitan obligasi dengan tenor panjang seperti 40 hingga 50 tahun pada dasarnya menunda beban pembayaran utang pokok dan bunga hingga masa depan. Namun, beban ini tidak hilang begitu saja. Justru, utang ini akan terus membengkak dan pada akhirnya menjadi kewajiban besar yang harus dibayar oleh pemerintah di masa mendatang," kata Aditya di Jakarta, Rabu (29/8).
Sejumlah SUN Jangka Panjang
SUN dengan tenor panjang yang telah diterbitkan pemerintah Indonesia, antara lain FR0071 yang diterbitkan pada 11 Maret 2015 dengan tenor 40 tahun dan jatuh tempo pada 15 Maret 2055, serta FR0089 yang diterbitkan pada 18 Januari 2017 dengan tenor 44,5 tahun dan jatuh tempo pada 15 Agustus 2061.
Selain itu, ada juga FR0092 yang diterbitkan pada 20 Januari 2021 dengan tenor 40 tahun dan jatuh tempo pada 15 Juni 2061, serta FR0105 yang baru saja diterbitkan pada 11 Juli 2023 dengan tenor 40 tahun dan jatuh tempo pada 15 Juli 2063.
Selain itu, pemerintah juga menerbitkan obligasi global dengan tenor 50 tahun, yakni INDO-51, yang diterbitkan pada 5 April 2021 dan akan jatuh tempo pada 12 April 2071. "Beban bunga yang terus menumpuk ini dapat mengurangi fleksibilitas fiskal pemerintah untuk merespons kebutuhan mendesak atau krisis di masa depan.
Menunda pelunasan utang bukanlah solusi yang bijak karena beban ini akan terus bertambah," tegasnya. Selain itu, Aditya juga menyoroti risiko ketergantungan pada investasi luar negeri yang sering kali terjadi dalam penerbitan obligasi jangka panjang. "Obligasi dengan tenor panjang ini biasanya menarik minat investor asing. Namun, kebergantungan yang terlalu besar pada pembiayaan dari luar negeri dapat membuat Indonesia rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi global," katanya.
Jika terjadi krisis atau perubahan sentimen investor, pemerintah mungkin menghadapi kesulitan besar dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang. Aditya menambahkan, salah satu risiko terbesar dari penerbitan SUN dengan tenor panjang adalah dampaknya terhadap generasi mendatang.
"Generasi saat ini mungkin mendapatkan keuntungan dari penerbitan obligasi ini dalam jangka pendek, tetapi generasi mendatang akan menghadapi beban berat untuk melunasi utang ini. Ini bisa mengurangi kemampuan mereka untuk membiayai program- program sosial atau infrastruktur yang penting bagi pembangunan berkelanjutan," katanya.