JAKARTA - Pemerintah melalui Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan rencana memungut pajak karbon mulai 1 April 2022 diundur pemberlakuannya ke Juli 2022. Penundaan itu dilakukan karena pemerintah ingin menyusun terlebih dahulu peraturan turunan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.

"Dalam Perpres ini juga ada pokok-pokok pengaturan tentang pasar karbon, dan kami ingin mengoneksikan keduanya secara konsisten antara satu dengan yang lain, sehingga peraturan perundangan makin komprehensif," jelas Febrio.

Di sisi lain, pemerintah saat ini juga sedang fokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat demi menjaga daya beli menjelang Ramadan dan Idul Fitri.

Apalagi, saat ini kondisi geopolitik, terutama konflik antara Rusia dan Ukraina, secara tidak langsung mengerek harga komoditas dunia yang berimbas pada kenaikan harga di tingkat konsumen.

"Kami akan pastikan suplai terjaga sehingga harga dan daya beli masyarakat, khususnya dalam menghadapi Ramadan dan Idul Fitri, tetap terjaga. Fokus kami pastikan kesejahteraan dan daya beli," kata Febrio.

Penerapan pajak karbon nantinya diharapkan akan melengkapi serangkaian kebijakan Indonesia untuk mengendalikan perubahan iklim.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, yang diminta pandangannya mengatakan alasan pengunduran ini karena masih diperlukan waktu untuk melengkapi aturan yang menjadi dasar penerapan pajak karbon. "Pemerintah dalam menunda pelaksanaannya sebaiknya juga menyesuaikan harga karbon. Tarif tersebut harus disesuaikan dengan target penurunan emisi di 2025 dan 2030," papar Fabby.

Besaran tarif pajak karbon, jelasnya, harus disinkronkan dengan rencana dan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Selain itu, perlu diperkuat kesiapan institusi untuk melaksanakan pajak karbon.

Fabby sebelumnya berkeras agar pajak karbon disesuaikan dengan tarif global.

Bank Dunia, paparnya, telah merekomendasikan besaran tarif pajak karbon sekitar 35-40 dollar AS per ton. Di Tiongkok, ketika memulai perdagangan emisi untuk pembangkit listrik, harganya ditetapkan 6,9 dollar AS per ton dan akan naik menjadi 15 dollar AS per ton pada 2030.

"Angka 30 rupiah per kg atau 30 ribu rupiah per ton yang sudah ditetapkan pemerintah terlalu murah," tegasnya.

Masih Murah

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (Meti), Surya Darma, mengakui angka yang dipatok dalam Nilai Emisi Karbon (NEK) memang tarifnya sangat murah dibanding negara negara lain.

"Usulan awal adalah 75 rupiah per ton. Nilai tersebut tetap masih jauh dari harga yang berlaku di berbagai negara lain yang sudah terlebih dahulu menerapkan pajak karbon," paparnya.

Baca Juga: