Presiden Joko Widodo membuka peluang untuk merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pernyataan ini disampaikan saat rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2). Publik menyambut baik keinginan Presiden tersebut.
Jokowi menyampaikan usulan itu setelah mencermati dan mengalami perlaku sejumlah warga saling melapor menggunakan UU ITE dalam beberapa waktu terakhir.
UU ITE itu semangatnya adalah untuk menjaga ruangdigitalIndonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Tapi dalam implementasinya kerap menimbulkan rasa ketidakadilan.
Sejak disahkan pada 2008, UU ITE telah memakan banyak korban, mulai dari warga biasa sampai oposisi pemerintah sesama politikus.
UU itu kerap digunakan sebagai alat untuk memenjarakan pihak yang berbeda pendapat atau malah untuk membungkam kritik.
Dalihnya banyak, seperti melanggar kesusilaan, penghinaan, menyiarkan kebencian, hingga pencemaran nama baik.
Publik mencatat ada dua pasal karet yang harus dihapus dari UU ITE. Selain itu, pasal tersebut juga dianggap tumpang tindih denganUU lain.Dua pasal itu adalah Pasal 27 Ayat 3 yang mengatur soal pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat 2 yang mengatur soal ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Dua pasal UU ITE tersebut pada praktiknya justru kerap digunakan untuk membungkam kritik dan suara pihak-pihak yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah. Dalam pelaksanaan UU ITE ini mengesankan seolah-olah penegak hukum, kepolisian, dan kejaksaan menjadi alat dari kekuasaan untuk membungkam kritik.
UU ini laksana UU sapujagad yang dapat dipakai untuk memidanakan seseorang dengan menggunakan, khususnya, Pasal 27 Ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Contohnya, kasus Prita Mulyasari pada 2008 lalu yang harus berurusan dengan pengadilan karena dianggap mencemarkan rumah sakit, sebab dia melakukan komplain terkait pelayanan di tempat itu.
Hal lain yang juga penting disoroti yakni penerapan Pasal 27 Ayat 3 yang kerap dialihkan menjadi Pasal 28, baik Ayat 1 maupun Ayat 2. Dalam revisi pertama, Pasal 27 Ayat 3 telah dikurangi hukumannya menjadi maksimal empat tahun dari sebelumnya enam tahun.
Sementara Pasal 28, baik Ayat 1 maupun Ayat 2 masih memiliki ancaman hukuman enam tahun. Karena itu, dengan memanfaatkan isu penyebaran kebencian atau hoaks, orang dapat mudah dibidik dengan Pasal 28.
Padahal, Pasal 28 Ayat 1 mengenai penyebaran berita bohong dan menyesatkan terkait kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, sementara Ayat 2 di pasal itu menyangkut ujaran kebencian berdasarkan SARA.
Namun dalam praktiknya, pasal ini bisa dikenakan pada siapa pun yang dianggap menyebarkan berita bohong, meski tidak terkait dengan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik serta orang yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian walau tidak menyangkut SARA.