Masa transisi serta minimnya penghargaan terhadap diri sendiri menjadi ceruk munculnya depresi pada anak muda.

Deppression Warrior Indonesia (DWI) menyatakan anak muda menjadi kelompok umur yang rentang terkena depresi. Masa transisi yang terjadi pada usia muda menjadikan kelompok usia ini rentang terkena salah satu masalah kesehatan mental.

Tanpa disadari membandingkan diri dengan orang lain menjadi titik awal munculnya depresi. Maya Asmara, pendiri DWI, mencontohkan anak muda daerah yang baru datang ke Jakarta kerap membandingkan kondisi dirinya dengan warga Jakarta.

Anak daerah kerap terpukau dengan gaya dandanan penduduk ibukota yang gemerlap. Mulai dari dandanan mukanya, baju bermerek, rumah megah, mobil yang mulus dan sebagainya. Lalu, mereka membandingkan dengan kondisi dirinya.

"Kayak gitu menjadi penyakit. Kita jadi membandingkan diri dengan orang lain," ujar dia yang ditemui dibilangan Kemang, Jakarta Selatan, belum lama ini. Sikap membandingkan diri dengan orang lain menjadi katalis semacam pendorong munculnya depresi yang lebih cepat.

"Karena, mental habit yang terbentuk ke luar terus (membandingkan diri dengan orang lain)," tambah dia. Lambat laun kelebihan diri tertutup dengan kelebihan orang lain.

Akibatnya muncul kesan negatif pada diri sendiri. Manusia akan merasa gagal lantaran tidak dapat menyamai kemampuan dirinya dengan orang lain. Padahal, dia punya potensi lain yang tidak mungkin berbeda dengan orang di sekitaranya.

Anak muda menjadi kelompok usia yang rentan terkena depresi. Mereka yang tengah memasuki proses jati diri mudah terombang ambing dengan berbagai terpaan di lingkungannya.

Maya mengatakan usia lulus SMA merupakan usia yang rentang terkena depresi. Selepas SMA, mereka akan dihadapkan pada dunia nyata secara mandiri, mulai lingkungan baru sampai segala persoalannya seperti salah memilih jurusan.

Masa transisi serta minimnya penghargaan terhadap diri sendiri menjadi ceruk munculnya depresi pada anak muda. Namun begitu, Maya berpendapat bahwa depresi tidak hanya disebabkan single factor saja. Masalah kesehatan mental tersebut muncul dari berbagai faktor bahkan sampai yang terakumulasi.

Seperti yang dialaminya beberapa tahun lalu, saat orang tuanya bercerai. Lepas perceraian orang tuanya, awalnya ia tidak merasakan dampaknya. Prestasinya selama SMP dan SMA tidak pernah turun malah dapat mempertahankan peringkat pertama di kelasnya. Masalah baru muncul ketika duduk di perguruan tinggi.

Maya yang mengeyam pendidikan tinggi pada 2013 baru merasakan dampak perceraian orang tuanya. Wanita yang tergolong ambisius kehilangan motivasi belajar. Awalnya, dia menduga masalah yang dihadapinya karena kecapekan.

Ternyata baru disadarinya bahwa usahanya belajar selama ini bukan senang mengejar prestasi. "Tapi karena rasa takut, ingin membuktikan diri. Drive-nya bukan positif tapi ingin membuktikan diri," ujar dia. Karena situasi tak kunjung membaik, dia lantas memutuskan drop out dari tempatnya kuliah.

Pendapat orang-orang di sekitar tentang percerian orang tuanya secara alam bawah sadar memengaruhi dirinya. Seperti seorang tetangga yang berujar "Oh, keluarganya hancur, untung anaknya pinter." Pandangan tersebut yang memacu Maya untuk berprestasi untuk mengusir stigma buruk akibat perceraian. Bukan senang mengejar prestasi.

Upaya untuk memulihkan dari depresi justru melahirkan DWI. DWI sebagai komunitas menjadi ruang nyaman untuk penderita depresi dengan mindset we have to be warrior. Bagi penderita tidak mudah membagikan perasaann pada orang lain. Bukan mustahil, mereka akan mendapatkan penghakiman dari orang lain.

DWI yang berawal mula dari komunikasi online lalu menjadi kegiatan offline. Maya menyebarkan ajakan untuk meet up secara online. Tanpa diduga, upayanya mendapatkan sambutan.

Maya baru menyadari banyak orang yang mengalami kondisi seperti dirinya, malam-malam hanya menangis seorang diri. "Mungkin saya tidak bermanfaat untuk orang tua," ujarnya. Namun dengan DWI, ia bisa bermanfaat untuk orang lain.

Setiap bulan, DWI selalu mengadakan pertemuan untuk saling berbagi. Hanya, peserta dengan depresilah yang boleh bergabung. Maya sengaja membatasi secara ketat supaya peserta lebih nyaman dan tidak malu memaparkan kisahnya.

Selain itu, DWI melakukan sejumlah workshop di sejumlah kampus tentang kesehatan mental. Kampus menjadi sasaran kegiatan lantaran anak muda menjadi kelompok usia yang rentang terkena depresi. Tujuannya untuk memberikan pemahaman dan menghargai diri sendiri. din/E-6

Berbagi, Terapi untuk Mengatasi Depresi

Rasa ingin bunuh diri bisa dikatakan menjadi puncak para penderita depresi. Rasa kesepian maupun kegagalan yang mendalam menjadikan para penderita terpikir untuk mengakhiri hidupnya.

Keinginan untuk bunuh diri pernah dialami Aprianto Nugraha. Saat itu, ia mengalami depresi berat lantaran istrinya selalu keguguran saat mengandung buah hatinya. Padahal, ia sangat menginginkan buah hati untuk memenuhi ekspektasinya. Saat anak kuliah, ia masih dalam usia produktif.

"Pas waktu itu, terus terang adalah usaha bunuh diri saya yang ke empat, usaha ya, yang bukan niat," ujar dia. Saat itu, dia menuliskan perasaan dirinya pada platform tanya jawab. Dari salah satu yang menanggapi, ia dipaksa untuk pergi ke psikiater bahkan akan ditemani.

Walaupun akhirnya, Aprianto bercerai dari istrinya karena berbagai masalah. Namun, ia terus melanjutkan konsultasi diantarkan oleh temannya tersebut.

Berkat dukungan teman, Aprianto berangsur stabil. Saat ini, ia lebih banyak berbagi pengalaman pada orang-orang yang pernah mengalami masalah seperti dirinya ataupun lebih parah. Tanpa disadari, berbagi mampu menjadi terapi untuk dirinya.

Maya pernah mengalami pengalaman serupa, memiliki keinginan untuk bunuh diri. Perceraian orang tua berimbas pada upaya untuk mencapai nilai paling tinggi di sekolah membuatnya kelelahan.

Saat dibangku kuliah, motivasi belajarnya hilang dan membuatnya depresi. "Saya sampai pingin bunuh diri, nangis setiap malam," ujar dia yang tinggal di Jakarta tidak bersama orang tuanya.

Beruntung, ia tidak sampai bunuh diri.

Maya berupaya memulihkan dirinya walaupun untuk itu ia harus mengorbankan kuliahnya. Maya mencari referensi sendiri, dari video dan buku. Ia tidak mungkin menceritakan masalah pada orang tuanya terlebih keluarga, walaupun pada akhirnya menceritan pada keluarga.

Video yang menceritakan pelari yang menderita kenjang-kejang namun tidak patah semangat untuk berlari telah mengubah pandangannya.

Dari video tersebut, ia bersemangat untuk mengatasi depresinya. Dari semua peristiwa yang terjadi pada dirinya, Maya membuat komunitas sekadar sebagai tempat berbagi pada Februari 2018. Tanpa diduga, banyak masyarakat yang memiliki persoalan seperti dirinya yang membutuhkan tempat untuk berbagi. din/E-6

Jangan Mengukur Kebahagiaan dari Pujian di Sosmed

Sosial media (Sosmed) menjadi sarana pembuktian diri sebagian anak muda secara cepat. Makin banyak yang ngelike atau memberikan komentar positif, harga diri pun dinilai makin membumbung. Padahal tanpa disadari, penyakit mental tengah menggerogoti dibalik suka cita pujian di Sosmed.

"Ihh, iya keren,".. bisa dipastikan komentar semacam itu akan menebar kebahagiaan bagi pemilik akun Sosmed. Selanjutnya, pemilik akun makin bersemangat memposting foto maupun teks untuk mendapat komentar follower, syukur-syukur komentar pujian.

"(Padahal) egonya sedang dikasih makan," ujar Maya menanggapi pujian di Sosmed. Kebahagiaan yang diukur dengan Iike ataupun jumlah postingan mengangkat harga diri individu.

Padahal, harga dirinya hanya sebatas angka maupun komen tersebut. Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat informasi yang tersebar di Sosmed tanpa filter.

"Para expert mengatakan, sosial media menjadi penyakit untuk mental bangsa karena nggak ke filter," ujar wanita yang bekerja di Imact Byte, jasa teknologi edukasi ini. Contoh gampangnya saat orang asyik dengan scrolling di Sosmednya. Tanpa terasa, waktu telah bergulir hingga dua jam. Alhasil, mereka tidak dapat menikmati proses kehidupan lantaran waktunya habis hanya menghadapi media sosial.

Belum lagi tekanan di media sosial yang dapat membawa pengaruh ke kehidupan sosial. Hal ini tidak lain, lantaran media sosial terbuka untuk umum sehingga setiap orang bebas masuk dan mengemukakan pendapatnya.

Cyber bully bukan mustahil terjadi. "Orang bisa memberikan tekanan dengan mengatakan hal-hal buruk terhadap sesuatu yang diposting," ujar Aprianto Nugraha, 33, anggota DWI yang bekerja sebagai operation advisor sebuah perusahaan minyak.

Bijak menggunakan media sosial menjadi salah satu cara untuk mengendalikan diri menggunakan Sosmed. Jika saat depresi. Maya mengatasi diri dengan meditasi mindfulness dalam artian bebas menyadari apa yang tengah dilakukan.

Maka dalam penggunaan media sosial pun perlu kesadaran. Postingan pun hanya sebagai berbagi kebahagian. "Sharing for good, nggak apa-apa," ujar dia supaya Sosmed tidak menjebak pribadi individu pada harga diri yang semu. din/E-6

Baca Juga: