Museum Perjuangan Yogyakarta yang berada di Kompleks Kampung Wisata Dewa Bronto, Jalan Kol Sugiono No 42, Yogyakarta, mencoba terus bertahan di tengah makin sepinya kunjungan. Di bulan Agustus ini yang menjadi bulan gratis masuk museum, belum tentu satu orang pengunjung datang setiap harinya.

Museum Perjuangan yang berada di Vredeburg, secara geografis mudah dijangkau wisatawan dan menempati bangunan kolonial yang megah sehingga mendapat kunjungan yang ramai setiap harinya. Sebaliknya, Museum Perjuangan "Brontokusuman" justru selalu sepi. Satpam museum berkata, dalam satu minggu bisa saja nol kunjungan.

"Sebenarnya, nasib museum tak semengenaskan itu. Yang tidak bisa kami kerjakan adalah bagaimana mendatangkan pengunjung ke museum itu. Kalau sudah datang, kami bisa menjamin museum sebenarnya masih akan sangat diminati," kata edukator Museum Perjuangan Yogyakarta, Tria Rachmawati, Selasa (15/8).

Tria pun memaparkan buktinya. Benar Agustus ini sepi, tapi Mei, Juni, Juli Museum Perjuangan ramai. Total sejak awal tahun sudah ada 680 orang yang berkunjung yang terpusat di tiga bulan itu. Respons mereka, mayoritas anak-anak sekolah, sangat bagus, dan interaktif sekali.

Bulan Mei ada Museum Perjuangan Expo, di mana di museum digelar banyak acara dari pameran tambahan hingga lomba-lomba. Juni-Juli banyak kunjungan dari sekolah bertepatan dengan mau libur sekolah maupun pertama masuk sekolah.

Pengalaman Tria berinteraksi dengan anak-anak sekolah melalui cerita menjadi pengalaman yang menunjukkan bahwa dengan sedikit sentuhan, sebuah cerita, museum bisa kembali hidup di benak anak-anak. Misalnya, sebuah koleksi bambu runcing, anak-anak hari ini bahkan tak pernah melihat langsung sebuah bambu runcing. Begitu Tria bercerita bahwa para penjajah lebih takut pada bambu runcing ketimbang pistol, anak-anak takjub bukan main.

"Sebab bambu runcing dibuat dari bambu kuning karena pori-porinya besar sehingga bisa menyerap lebih banyak racun yang dibuat dari tumbuhan maupun binatang beracun. Dan juga ada rajah dan doa kiai. Yang kena bambu runcing baru mati 3 hari setelah tersiksa oleh luka, panas, dan gatal berbeda dengan pistol yang bikin orang langsung mati. Sampai pada cerita itu, kita tidak pernah tidak berhasil membuat takjub dan memancing interaksi dari anak-anak," kata Tria.

Koleksi masterpiece Museum Perjuangan adalah satu set meja kursi Rengasdengklok tempat duduk Soekarno-Hatta saat diculik para pemuda untuk mempercepat pembacaan Proklamasi. Sebagai benda, meja kursi itu tak akan bikin relasi, tapi cerita Tria menjadi jalan untuk berbagi.

Bahan Studi

Museum terbagi dua lantai di mana lantai atas menyimpan koleksi tetap museum dan lantai bawah tanah berganti tema setiap tahun, namun selalu terkait dengan peristiwa kebangkitan nasional. Tahun ini, "Jejak dr Soetomo dalam Naskah" dipilih menjadi tema utama lantai bawah. Secara arsitektural yang merupakan perpaduan candi-candi Jawa dan Kubah Romawi, museum ini juga sering menjadi bahan studi mahasiswa jurusan arsitek.

"PR-nya adalah membawa pengunjung ke sini. Kita bersaing dengan mal dan tempat hiburan. Setelah mereka ke sini, tugas kami membuat mereka tak bisa melupakan dan mengajak teman-teman dan keluarga ke sini. Bagaimana membuat museum relevan dengan generasi hari ini. Itu butuh kerja sama kita semua," kata Tria.

Kampung Dewo Bronto adalah salah satu kampung batik penting di Jogja. Sementara Brontokusuman dikenal sebagai penggubah naskah-naskah Mahabharata-Ramayana versi India menjadi versi Jawa yang sangat berbeda dengan versi Jawanya Ronggowarsito di Solo. Sayang, Koran Jakarta tidak melihat ada integrasi ketiganya sebagai satu destinasi yang padu, padahal museum berada di halaman Ndalem Brontokusuman dan tak terpisah dengan rumah-rumah penduduk di sana.

Museum Perjuangan berawal pada 20 Mei 1958. Saat itu, panitia setengah abad kebangkitan nasional DIY yang diketuai Sri Sultan HB IX merasa sejumlah acara yang mereka lakukan untuk mengenang peristiwa penting 20 Mei 1908 masih jauh dari memuaskan. "Mereka merasa perlu membikin sesuatu yang bisa jadi tinggalan generasi mendatang. Diputuskanlah membikin Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional," ujar Tria.

Sebuah rencana lain jauh sebelumnya, pada 2 Desember 1952 sebenarnya telah bekerja, Panitia Sementara Museum Perjuangan yang mengumpulkan barang-barang yang dipergunakan rakyat Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan. Panitia dipimpin Sri Paku Alam VIII. Pada akhirnya, kedua rencana tersebut dilebur menjadi satu sehingga sampai sekarang lebih dikenal sebagai Museum Perjuangan Yogyakarta.eko sugiarto putro/N-3

Baca Juga: