JAKARTA - Klaim pemerintah yang terus menjalankan program-program di sektor pertanian untuk memperkuat ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan dinilai masih sebatas wacana. Realisasi program-program tersebut belum dirasakan petani dan nelayan yang terlihat dari Nilai Tukar Petani yang cenderung stagnan bahkan turun di saat musim panen raya.

Pemerintah lebih banyak menyampaikan slogan-slogan populis seolah-olah memperhatikan petani dan nelayan dan di saat bersamaan harga gabah di tingkat petani turun, begitu juga dengan hasil tangkapan nelayan.

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Awan Santosa, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Rabu (4/8), mengatakan lemahnya intervensi pemerintah membuat kesejahteraan petani di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan petani dari Thailand maupun Tiongkok.

Menurut dia, NTP bulanan memang cenderung fluktuatif, naik-turun, karena menyesuaikan naik-turunnya indeks harga produk pertanian yang diterima petani dan indeks harga produk konsumsi yang dibayar petani setiap bulan.

"Yang jadi persoalan adalah naik-turunnya NTP tersebut masih berkisar antara 100- 105, bahkan kadang turun jadi 99 atau petani defisit. Angka ini amat jauh dibanding NTP Thailand yang berkisar 120-140, apalagi NTP Tiongkok di kisaran 140-150," jelas Awan.

Hal itu menunjukkan masih terdapat masalah struktural ekonomi dan pertanian di Indonesia, padahal sebagai kontributor utama pangan dan ekonomi di Indonesia, petani semestinya lebih sejahtera.

Hal itu karena beban harga pangan (beras) murah yang mesti dipikul petani. Begitu juga dengan marjin yang menjadi bagian petani sangat kecil karena mata rantai distribusi dan tata niaga yang oligarkis. "Selain itu karena produktivitas terhambat karena ketimpangan penguasaan faktor produksi, baik lahan, teknologi, maupun organisasi," kata Awan.

Sementara itu, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan jika diperhatikan dengan aktivitas pembatasan, memang belum diimbangi dengan penerapan kebijakan yang khusus buat petani selain bantuan sosial yang sudah jalan.

Padahal dalam kondisi sesulit apa pun, petani tetap menanam, berproduksi untuk memberi makan bagi semua orang. "Dari pengalaman selama ini, kita belum bisa melihat korelasi linear dalam konsepsi ketahanan pangan antara peningkatan produksi dengan peningkatan kesejahteraan petani," kata Said.

Orientasi program ketahanan pangan nasional, tambahnya, pada akhirnya lebih banyak berhenti pada peningkatan produksi dan ketersediaan pangan. Sementara perbaikan kualitas kehidupan petani masih tertinggal jauh.

"Kalau kita hitung NTP kita dalam 10 tahun terakhir nyaris tidak ada perubahan. Di negara lain intervensi di hilir, misalnya memastikan market dan harga yang menguntungkan petani itu dilakukan dengan serius oleh pemerintah. Kita intervensinya masih banyak di sisi hulu," tutup Said.

Sebelumnya, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan dalam masa pandemi Covid-19 muncul berbagai tantangan seperti kemiskinan, ketimpangan, pengangguran dan ketahanan pangan yang perlu diantisipasi dengan cermat.

"Program-program di sektor pertanian terus dijalankan untuk penguatan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan," kata Menko.

Baca Juga: