Pemerintah selalu menempuh jalur pintas dengan impor untuk menjaga stabilitas harga pangan, terutama beras, sekalipun Indonesia merupakan negara agraris.

JAKARTA - Pemerintah harus meningkatkan produksi untuk menekan lonjakan inflasi pangan. Apalagi tingkat konsumsi beras oleh masyarakat Indonesia sangat besar. Jika produksi terganggu, kondisi itu dapat mengerek inflasi.

Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan pemerintah selalu mengambil jalan pintas atau short cut dalam mengatasi keterbatasan suplai pangan melalui impor. "Kebijakan temporer dan jangka pendek seharusnya mulai ditinggalkan karena kebijakan impor berarti kita menggantungkan nasib kita ke negara lain," ujarnya kepada Koran Jakarta, Senin (6/11).

Padahal, lanjut Esther, masalah pangan ini fundamental. Negara maju pun masih memproduksi pangannya sendiri untuk mengamankan stok pangannya. Indonesia yang masih masuk kelompok negara berpendapatan menengah harus memandang masalah pangan sebagai masalah krusial.

"Jadi menurut saya, Indonesia minimal harus bisa swasembada beras karena banyak penduduk kita makan nasi. Alasannya pertama, kedaulatan pangan, kedua, penghematan devisa negara ketiga, pengendalian inflasi," kata Esther.

Esther prihatin karena Indonesia semakin jadi pasar empuk beras impor. Hal itu terlihat setelah Kamboja mengekspor beras giling (milled rice) ke Indonesia untuk kali pertama, yang ditandai dengan tibanya pengiriman perdana komoditas itu di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (2/11).

"Ini merupakan hasil dari negosiasi yang bermanfaat dalam membuka pasar (Indonesia) untuk beras giling kami," ujar Perdana Menteri (PM) Kamboja, Hun Manet, dalam sebuah teks yang dirilis di saluran Telegram resminya.

Dia menyampaikan ekspor komoditas itu ke Indonesia akan membantu menggenjot volume ekspor negara kerajaan tersebut, dan berkontribusi pada peningkatan penghidupan para petani.

Di sisi lain, Kementerian Pertanian (Kementan) optimistis dengan kinerja sektor pertanian. Lembaga penanggung jawab bidang pangan tersebut menjadikan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai tolok ukur kemajuan sektor pertanian.

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, Kuntoro Boga Andri, mengatakan bahwa sektor pertanian telah secara konsisten memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional.

Saat ini, Kementan akan terus mengawal transformasi dari pertanian tradisional ke modern. Modernisasi sektor pertanian itu akan mampu meningkatkan produksi sehingga berdampak bagi pertumbuhan ekonomi.

"Kementan terus berupaya meningkatkan produksi untuk menumbuhkan ekonomi. Kami terus mengintervensi teknologi mekanisasi, kemudian menyiapkan benih unggul, pupuk dan juga sarana prasarana lainnya demi bisa meningkatkan produktivitas pertanian kita," jelasnya.

Kinerja Positif

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2023 tumbuh 4,94 persen dibandingkan periode sama 2022 (yoy). Pelaksana tugas (Plt.) Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyebutkan kontribusi pertanian, industri pengolahan, perdagangan, pertambangan, dan konstruksi mencapai lebih dari lima puluh persen.

"Semua (sektor tersebut) melanjutkan tren pertumbuhan yang positif sehingga memberikan kontribusi sebesar 65,32 persen terhadap PDB kuartal III-2023," ujar Amalia dalam Berita Resmi Statistik BPS, Senin (6/11).

Dengan capaian tersebut, Amalia menilai ekonomi Indonesia tetap terjaga solid dan tumbuh positif.

Baca Juga: