Kerawanan pangan akut tinggi sudah meluas ke 18 negara dengan lebih dari 72 juta penduduknya.

JAKARTA - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menekankan bahwa penguatan stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dari produksi dalam negeri sebagai atensi utama dalam memperkuat ketahanan pangan nasional.

"Kami pahami program Banpang (bantuan pangan) beras ini terus kita jalankan dan bersumber dari stok CBP. Untuk itu, penguatan stok CBP di saat produksi dalam negeri menjadi atensi utama kami," kata Arief dalam keterangan di Jakarta, akhir pekan lalu.

Arief menyebutkan bahwa saat ini tercatat cadangan beras pemerintah yang dikelola Perum Bulog sampai 28 Mei tembus hingga 1,8 juta ton. Kepala Bapanas meyakini total stok tersebut akan terus bertambah, karena Bulog secara konsisten menyerap hasil panen beras dalam negeri.

"Ini karena kita ingin di masa depan saat musim kering melanda atau terjadi suatu kondisi pangan global, kita mampu mengatasinya dengan penyaluran CBP untuk membantu masyarakat melalui berbagai program," jelas Arief.

Dia menjelaskan berdasarkan "Global Report On Food Crises 2024" yang disusun Food Security Information Network (FSIN) dan Global Network Against Food Crises, cuaca ekstrem menjadi salah satu penyebab utama kerawanan pangan akut tingkat tinggi sedikitnya bagi 18 negara dengan lebih dari 72 juta penduduknya.

Jumlah itu, lanjut Arief, meningkat dibandingkan tahun 2022 yang kala itu terdiri dari 12 negara dengan 56,8 juta penduduk yang terdampak rawan pangan akut. Namun, Arief tidak merinci negara-negara yang disebutkan itu.

Selain itu, El Nino dan fenomena cuaca perubahan iklim telah menjadikan tahun 2023 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat. Dalam proyeksi 2024 itu pula, tambah Arief, banjir dan cuaca ekstrem akibat angin muson dan angin topan masih menjadi kekhawatiran, terutama di kawasan Asia. "Karena itu kita pastikan untuk terus memantau dan memastikan stok CBP dalam kondisi yang baik. Per hari ini 1,8 juta ton dan ini akan terus bertambah," ungkap Arief.

Lebih lanjut, Arief mengatakan estimasi panen beras menurut Kerangka Sampel Area Badan Pusat Statistik (KSA BPS) sampai Mei, masih ada surplus terhadap konsumsi bulanan beras. "Jadi, ini memang waktunya CBP terus ditambah, sehingga nanti saat musim kemarau, pemerintah leluasa menyalurkan dalam membantu masyarakat," jelas Arief.

Arief mengatakan pula menilik data KSA BPS hasil pengamatan April 2024, produksi beras Januari sampai Juli diproyeksikan dapat mencapai 18,74 juta ton. Dari total itu diestimasi dapat terjadi surplus produksi terhadap konsumsi di angka sekitar 650 ribu ton.

Pada April 2024, estimasi produksi beras di angka 5,31 juta ton. Lalu Mei 2024, produksi diperkirakan dapat berada sampai 3,58 juta ton, dan pada Juni 2024 di 2,01 juta ton serta Juli 2024 di 2,15 juta ton.

Sementara realisasi penyerapan beras produksi dalam negeri oleh Perum Bulog sampai 26 Mei total telah menyentuh 601 ribu ton. Ini terdiri dari pengadaan untuk CBP 517 ribu ton dan beras komersial 83 ribu ton. "Sebagai komparasi, realisasi pengadaan beras dalam negeri oleh Bulog pada tahun 2023 total keseluruhan selama setahun berada di angka 1,066 juta ton," kata Arief.

Guru Besar Ekonomi Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan sudah menjadi cita-cita bersama Bapanas dibentuk sebagai lembaga yang bermanfaat bagi petani dan masyarakat banyak.

Dwijono mengingatkan di beberapa daerah masih ada panen padi sehingga jika ada stok beras impor dilepas ke pasar maka akan menekan harga gabah di petani. "Serap sebanyak-banyaknya beras petani dalam harga baik sehingga petani semangat menanam," kata Dwijono.

Kalah Bersaing

Pada kesempatan lain, peneliti ekonomi Celios, Nailul Huda, sepakat dengan pernyataan Bapanas terkait sumber cadangan beras pemerintah yang utama dari petani lokal. Tetapi pada kenyataannya, sering kali Bulog sebagai perwakilan negara dalam penyerapan beras, kalah saing dengan perusahaan swasta.

Pada akhirnya, stok CBP sering menipis dan pada akhirnya dilakukan impor beras untuk CBP. Jadi solusinya klasik, impor lagi, impor lagi. Maka harus dibenahi dahulu sistem di Bulognya.

Pembenahan itu, kata Huda, terutama sistem pemberian bantuan pangan yang selama ini mengandalkan beras impor. Itu sangat disayangkan sebab semestinya menggunakan hasil produksi petani sendiri. "Jadi yang bisa dilakukan adalah memperbaiki sistem penyerapan gabah/beras dari petani di mana saat ini harga pembelian pemerintah (HPP) menjadi ganjalan. Perubahan HPP dari fix menjadi range saya rasa bisa dilakukan," tegas Huda.

Saat ini, terangnya, pembelian gabah dari petani sering mentok dengan harga maksimal HPP yang berlaku. Padahal harga gabah sangat fluktuatif mengikuti kondisi pasar.

"Jika ada range, saya rasa bisa membuat Bulog lebih leluasa untuk menyerap gabah dari petani," katanya.

Dari Yogyakarta, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, menegaskan cara menggenjot produksi lokal ialah melalui penguatan kelembagaan petani. Kemudian, perluasan areal pertanian yang didukung dengan pemanfaatan teknologi. Terakhir, perlu memberi insentif bagi petani melalui kebijakan subsidi dan harga, perbaikan tata niaga dan distribusi hasil pertanian.

Baca Juga: