JAKARTA - Permukiman informal (informal settlement) masih tersebar cukup banyak di beberapa daerah di Indonesia. Menurut UN-Habitat (2015) permukiman informal merupakan kawasan permukiman di mana penduduknya tidak memiliki jaminan kepemilikan lahan yang legal, kualitas lingkungan yang buruk, akses layanan dasar dan infrastruktur kebutuhan dasar yang minim, serta letak yang berada di daerah berbahaya baik secara geografis maupun lingkungan.

Direktur Nasional Habitat for Humanity Indonesia, Susanto mengatakan pemerintah maupun lembaga non pemerintah memiliki banyak program untuk perumahan. Sayangnya program tersebut kebanyakan hanya menyasar mereka yang berpenghasilan rendah dan belum memenuhi persyaratan secara khusus kepemilikan lahan.

"Program-program tersebut belum menjangkau mereka yang tinggal di permukiman informal, seperti mereka yang tinggal di daerah kumuh, bantaran sungai, bantaran rel kereta api, tanah pemerintah maupun perusahaan secara illegal," ungkap Susanto dalam seminar dan kampanye bertajuk Rumah untuk Semua Jakarta, Rabu (14/6).

Kampanye Rumah untuk Semua pertama kali digelar sebagai awal diskusi yang akan dilanjutkan pada seminar Housing Forum pada Agustus 2023. Kampanye yang diinisiasi oleh Habitat for Humanity Indonesia ini ditujukan untuk memastikan akses yang lebih adil ke perumahan yang layak melalui perubahan kebijakan dan sistem yang berfokus pada beberapa hal.

Kebijakan dan sistem harus berfokus pada partisipasi yang diberdayakan, layanan dasar yang andal dan berkelanjutan, ketahanan terhadap perubahan iklim, dan kepemilikan yang terjamin. Melalui kampanye ini, diharapkan suara orang-orang yang tinggal di permukiman informal akan semakin diperkuat, serta lahir kebijakan yang menjamin kepemilikan lahan.

"Terjaminnya kepemilikan lahan melalui hak milik dapat menolong mereka yang dengan tingkat kemiskinan ekstrim pada akhirnya memiliki akses ke lembaga keuangan/perbankan, memiliki hak dasar seperti air bersih dan sanitasi yang layak, hak legal atas tanah mereka, dan bahkan tangguh terhadap perubahan iklim," tambah Susanto.

Direktur Perumahan dan Kawasan Permukiman Kementerian PPN/Bappenas RI, Tri Dewi Virgiyanti, menuturkan, perumahan dan kawasan permukiman salah satu bagian infrastruktur layanan dasar yang menjadi prasyarat bagi pencapaian Visi Indonesia Emas 2045. Untuk mencapai hal tersebut, melalui beberapa program saat ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah mencoba untuk melakukan penanganan terhadap permukiman kumuh informal di berbagai kab/kota di Indonesia sebagai pilot seperti Kabupaten Pemalang, Kota Langsa, dan Kabupaten Gresik.

Pada kegiatan tersebut telah banyak praktik baik. Masyarakat yang sebelumnya menghuni Kawasan informal kini dapat menghuni Kawasan perumahan dan permukiman yang layak, terlayani infrastruktur dasar (air minum, sanitasi dan persampahan) serta memiliki sertifikat untuk keamanan bermukim. Harapannya, hal ini dapat meningkatkan perikehidupan (livelihood) mereka sehingga permasalahan keterbelakangan sosial-ekonomi-kesehatan dapat turut teratasi.

"Kita mengupayakan proses penyusunan RPJPN 2025-2045 sektor perumahan dan kawasan permukiman yang partisipatif. Peran organisasi, masyarakat sipil, dan lembaga swadaya masyarakat dibutuhkan dalam pelaksanaan strategi pelaksanaan lima pilar pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yakni kesiapan masyarakat, kelembagaan, kebijakan, pendanaan, dan keterpaduan infrastruktur," kata dia.

Direktur Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI, Edward Abdurrahman, mengatakan sistem dan strategi penyelenggaraan perumahan salah satunya berupa rumah swadaya yang didalamnya mencakup permukiman informal.

"Melalui diskusi ini, harapannya ada masukan yang dirumuskan dan disiapkan dalam membantu penyelenggaraan permukiman formal diikuti dengan bimbingan teknis, pemantauan dan evaluasi, serta penyediaan fasilitas penghunian dan pengelolaan rumah layak," ujarnya.

Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja, membagikan studi yang dilakukan oleh Rujak Center for Urban Studies (RCUS) yang menyoroti permasalahan kampung kota seperti Kampung Marlina di Jakarta Utara dan Kampung Akuarium. Menurut dia perlu adanya advokasi seperti yang dilakukan RCUS dengan bergabung ke dalam koalisi perumahan gotong royong yang mendorong perumahan kolektif di Indonesia.

"Alat bantu perencanaan bersama diperlukan agar penduduk kampung kota tidak hanya merencanakan bentuk tetapi juga cara hidup berkegiatan dan memastikan perencanaan bersama secara demokratis dan berkualitas," tuturnya.

Baca Juga: