JAKARTA -Rencana penggunaan sanksi pidana dalam penggunaan aplikasi Peduli Lindungi dikritik. Rencana sanksi tersebut diminta untuk dibatalkan.
"Hentikan promosi penggunaan sanksi pidana untuk mendorong penggunaan aplikasi Peduli Lindungi," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Genoveva Alicia di Jakarta, Rabu (22/12).
Seperti diketahui, kata Genoveva, Menteri Dalam Negeri pada 21 Desember 2021 memberikan keterangan akan mengeluarkan edaran yang menginstruksikan kepala daerah untuk mengeluarkan peraturan kepala daerah (Perkada) mengenai penegakan penggunaan aplikasi Peduli Lindungi di ruang publik.
Perkada ini nantinya akan menjadi dasar penerapan sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang tidak menggunakan aplikasi Peduli Lindungi. Mendagri juga menyatakan Perkada ini juga akan mengikat masyarakat.
"Mendagri juga menginstruksikan setelah periode Natal dan Tahun Baru, pemerintah daerah dapat menaikkan status Perkada menjadi Peraturan Daerah (Perda). Hal ini bertujuan agar sanksi selain administratif dapat diterapkan termasuk sanksi pidana," katanya.
Menurut Genoveva, hal ini merupakan kesalahan yang lagi-lagi dilakukan pemerintah, yang terus mempromosikan penggunaan ancaman sanksi pidana untuk menjamin kepatuhan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19. Ia pun mengingatkan proposal untuk menggunakan sanksi pidana harus dipikirkan dengan matang, seksama dan proporsional.
"Penggunaan sanksi pidana untuk penanggulangan Covid-19 telah menunjukkan kesemerawutan dan diskriminatif. Sebelumnya, pemerintah pernah menerapkan sanksi pidana bagi pelanggar PPKM berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 2021. Instruksi ini menyampaikan bahwa pelanggar PPKM dapat dikenai sanksi pidana melalui berbagai macam instrumen hukum seperti Pasal 212 sampai dengan Pasal 218 KUHP, pasal pidana dalam UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pasal pidana dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain," tuturnya.
Jika diperhatikan lebih lanjut, kata Genoveva, masing-masing aturan tersebut memuat ketentuan unsur tindak pidana yang spesifik. Sedangkan dalam penerapannya tidak sesuai dengan unsur pidana yang dimaksud. Bahkan penggunaan Pasal 212, 218 KUHP tentang melanggar perintah petugas tidak tepat digunakan, memunculkan kesewenangan.
Berbagai macam upaya-upaya yang merendahkan dan bersifat menghukum, seperti misalnya penyiraman usaha kaki lima yang masih beroperasi pada jam yang diperbolehkan dengan fasilitas milik Pemadam Kebakaran di Madiun, diterapkan tanpa adanya dasar hukum yang jelas dan proporsionalitas antara pelanggaran dengan sanksi yang diberikan.
"Disproporsional ditemukan terjadi kepada pedagang-pedagang skala menengah hingga kecil atau bahkan pedagang kaki lima apabila dibandingkan dengan pelaku usaha skala besar, ataupun antara masyarakat biasa dengan masyarakat dengan profil tertentu," ujarnya.
Keberadaan sanksi pidana yang terus dipromosikan, kata dia, justru akan menimbulkan praktik-praktik diskriminasi dan tidak menyelesaikan masalah kepatuhan yang ingin diintervensi oleh pemerintah. Pembahasan mengenai sanksi pidana di dalam penegakan protokol kesehatan selama Pandemi Covid-19 tidak pernah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Hal ini juga menandakan warning bagi Dewan Perwakilan Rakyat baik di tingkat pusat maupun daerah, karena penggunaan dan promosi sanksi pidana hanya dapat dibahas oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat.
"ICJR mencermati sikap kritis terhadap proposal pemerintah belum cukup ditunjukkan oleh dewan perwakilan rakyat, baik DPR dan DPRD. Carut-marut penerapan sanksi terhadap pelanggar kepatuhan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 sudah terjadi sejak awal pandemi. Kebijakan baru terus-menerus dibuat tanpa adanya perhatian yang serius terhadap kaidah-kaidah hukum tata negara dan seringkali menerobos kewenangan, dan dilakukan atas dasar narasi negara bertindak keras, seolah melakukan hal tepat," katanya.
Dua tahun pandemi, menurut Genoveva, pemerintah harus segera berbenah dan menyadari kesalahan ini, agar seluruh lapisan masyarakat terlindungi dari ancaman kesehatan dan juga ancaman kekerasan yang lebih lanjut dari negara. Sekali lagi, ia menekankan pelanggaran atas protokol kesehatan adalah pelanggaran yang bersifat administrasi. Intervensi yang tepat dilakukan pemerintah terhadap masalah administrasi adalah membangun sistem yang jelas, termasuk pengawasannya. Pemerintah tidak dapat mendahulukan promosi penggunaan sanksi pidana tanpa upaya yang jelas untuk membangun sistem.
"Dalam penggunaan aplikasi peduli lindungi, pemerintah harus terlebih dahulu memastikan kejelasan siapa-siapa yang harus menggunakan aplikasi, bagaimana melakukan pandaftaran dan harus ada evaluasi berkala. Dan yang terpenting tidak dapat dibebankan sanksi kepada masyarakat," katanya.
Selain itu, ujarnya, alih-alih menghukum dengan menggunakan sanksi pidana, pemerintah harus mulai memikirkan peluang-peluang insentif yang dapat menstimulus kepatuhan masyarakat. Tanpa perlu menyebarkan ancaman, sikap keras pemerintah yang terbukti menimbulkan kesewenangan kepada rakyat menengah ke bawah minim akses keadilan. Jangan sampai penggunaan ancaman pidana diartikan sebagai bentuk frustasi dan ketidakmampuan pemerintah dalam menatakelola masalah dalam masyarakat.
"Atas hal tersebut ICJR menyerukan pertama, pemerintah untuk hentikan promosi penggunaan sanksi pidana. Kedua, wakil rakyat di DPR dan DPRD untuk kritisi proposal penggunaan sanksi pidana dari pemerintah. Ketiga, wakil rakyat di DPR dan DPRD tuntut evaluasi penggunaan sanksi protokol kesehatan dari pemerintah. Keempat, pemerintah hadirkan kebijakan insentif untuk mendorong kepatuhan protokol kesehatan," ujarnya.