Pemerintah harus lebih serius lagi mengantisipasi dampak negatif masuknya AI bagi sektor ketenagakerjaan di tengah meningkatnya populasi dunia.
JAKARTA - Dampak kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) sangat terasa di negara maju dan berkembang karena menggerus kesempatan para pencari kerja. Apabila tak segera diantisipasi, penggunaan teknologi modern tersebut hanya akan membawa malapetaka di tengah lonjakan populasi penduduk global.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengakui kelompok negara maju dan berkembang paling terdampak dengan adanya AI. Pasalnya, kedua kelompok tersebut lebih melek teknologi dibanding negara berpenghasilan rendah.
Selain itu, negara maju dan berkembang sangat adaptif terhadap perkembangan teknologi karena fasilitas mendukung. Meski demikian, pengoperasian AI tetap membutuhkan tenaga manusia. "Mesin hanya membantu, tetapi tidak bisa menggantikan 100 persen manusia. AI akan sangat berbahaya jika ada manusia pintar menggunakan AI dan menyalahi etika, sehingga terjadi penyimpangan," tegas Esther kepada Koran Jakarta, Selasa (16/1).
Menurut Esther, AI harus digunakan untuk mendukung peningkatan produktivitas. Dia mencontohkan AI dapat digunakan untuk mendapatkan data sebanyak-banyaknya dan menganalisisnya secara cepat.
Senada, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan perkembangan AI di negara maju dan berkembang sangat pesat. Karena itu, pekerjaan administratif berpotensi tergantikan oleh AI, begitu pula dengan pekerjaan di sektor industri yang digantikan robotik.
"Di Indonesia sendiri, nampaknya pekerjaan yang sifatnya administratif berpotensi digantikan oleh AI. Namun, untuk industri sendiri nampaknya belum berpotensi digantikan robot karena kesiapan teknologinya masih kurang," ucapnya.
Sementara itu, Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan pemerintah harus lebih serius lagi mengantisipasi dampak negatif masuknya AI di sektor tenaga kerja. Pemerintah perlu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) inovatif, agile, humanis, dan berkarakter/akhlak tinggi sehingga mampu menguasai dan mengendalikan teknologi informasi termasuk AI dan bukan malah sebaliknya.
"Tentu pemerintah perlu mengantisipasi dan mengarahkan agar AI yang membawa manfaat besar bagi masyarakat dan kemanusiaan yang dikembangkan, bukan sebaliknya yang merusak," tegasnya.
Dampak Negatif
Sebelumnya, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, sesaat sebelum berangkat ke Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Senin (15/1), mengatakan AI bakal berdampak buruk terhadap 60 persen pekerjaan di negara-negara maju. "Negara-negara maju, beberapa negara berkembang, akan terkena dampak sebesar 60 persen terhadap pekerjaan mereka," kata Georgieva dalam wawancara di Washington, seperti dilaporkan IMF.
Lebih lanjut, dia mengatakan di negara berkembang, AI berpengaruh sekitar 40 persen, sedangkan di negara berpenghasilan rendah berdampak sekitar 26 persen terhadap lapangan kerja. Secara keseluruhan, kehadiran AI berdampak pada hilangnya hampir 40 persen lapangan kerja global.
Dikutip dari The Straits Times, laporan IMF itu mencatat setengah dari pekerjaan terdampak negatif AI, sementara sisanya akan mendapatkan manfaat dari peningkatan produktivitas. "Pekerjaan Anda mungkin hilang sama sekali hal ini tidak baik atau kecerdasan buatan dapat meningkatkan pekerjaan Anda, sehingga Anda sebenarnya akan lebih produktif dan tingkat pendapatan Anda mungkin meningkat," kata Georgieva.