JAKARTA - Peran serta Badan Intelijen Negara (BIN) penanganan dan pencegahan penyebaran Covid-19 patut diapresiasi, terutama dalam mencegah kluster di perkantoran. Dalam melakukan pengetesan, standar test yang digunakan BIN sangat ketat. Standarnya lebih tinggi dari lembaga atau institusi lain.
"Peran BIN untuk mecegah penyebaran Covid-19, terutama di klaster perkantoran patut kita apresiasi," kata Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Mepan RB) Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Senin (28/9).
Menurut Tjahjo, perang melawan Covid-19 adalah perang bersama. Semua lembaga negara, harus bahu membahu. Seperti arahan Presiden Jokowi, segala sumber daya harus dikerahkan melawan Covid-19, termasuk BIN tentunya yang langsung aktif dalam mempercepat penanggulangan penanganan virus korona.
Kontribusi BIN pun sangat signifikan dalam perang melawan penyebaran virus di Tanah Air, mulai dari meriset obat korona, membuat proyeksi puncak pandemi hingga menggelar tes polymerase chain reaction (PCR test).
"BIN sebagai lini terdepan dalam Keamanan Nasional sebagaimana amanat UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, maka BIN berkewajiban membantu pemerintah dan siap mendukung seluruh kebijakan Presiden dalam mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia," kata Tjahjo.
Terkait masalah akurasi hasil tes, Tjahjosangat memahami. Namun, untuk tes yang dilakukan BIN, sepengatahuan dia, dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium BIN menggunakan 2 jenis mesin real time PCR, yaitu jenis Qiagen dari Jerman dan jenis Thermo Scientific PCR dari Amerika Serikat.
Laboratorium BIN ini telah memiliki sertifikat Laboratorium Biosafety Level 2 (BSL-2) yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium serta telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, World Bio Haztec dari Singapore.
"Tidak hanya itu BIN juga melakukan kerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman untuk standar hasil tes, sehingga layak digunakan untuk analisis Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang sesuai standar," katanya.
Tjahjo menambahkan BIN menerapkan ambang batas standar hasil PCR Test yang lebih tinggi dibandingkan institusi atau lembaga lain yang tercermin dari nilai Ct qPCR atau ambang batas bawah 35. Namun untuk mencegah OTG lolos screening maka BIN menaikkan menjadi 40. Termasuk melakukan uji validitas melalui triangulasi 3 jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab.
"Terkait fenomena hasil test swab positif menjadi negatif, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN juga termasuk jaringan intelijen di WHO telah menjelaskan itu bukan hal yang baru," kata dia.
Pertama, kata Tjahjo, merujuk penjelasan dariDewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN dan jaringan intelijen di WHO, ini dapat disebabkan RNA atau protein yang tersisa atau jasad renik virus sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada threshold sehingga tidak terdeteksi lagi. Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan ditest pada hari yang berbeda. OTG atau asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut.
"Kedua, terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh 2 orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda, sehingga sampel swab sel yang berisi virus korona tidak terambil atau terkontaminasi," katanya.
Penyebab ketiga, lanjut Tjahjo, sensitivitas Reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai Cq/Ct-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN menggunakan Reagen PerkinElmer (Amerika Serikat), A*Star Fortitude (Singapura), Wuhan Easy Diagnosis (China). Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merk lain seperti Genolution dari Korea dan Liferiver dari China yang digunakan beberapa rumah sakit.
"Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit," ujarnya.
Tjahjo menambahkan BIN sendiri menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel Covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Swedia.
"Untuk masalah pelaporan, dalam menggelar kegiatan test massal di berbagai titik, BIN berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat termasuk di dalamnya Dinas Kesehatan serta Gugus Tugas Daerah untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19," ujarnya.
Sejak Satgas Intelijen Medis beroperasi pada bulan April 2020, lanjut Tjahjo, BIN selalu melaporkan hasil tes swab yang selama ini dilakukan kepada Kemenkes dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19. ags/N-3