Utang luar negeri negara berkembang yang melambung karena kurs terdepresiasi terhadap dollar bisa bahaya jika tidak dimitigasi.
WASHINGTON - Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga serta lonjakan harga minyak dan pangan global semakin memberatkan negara-negara dunia ketiga. Negara-negara yang miskin dan berkembang itu dapat terjerumus ke dalam kebangkrutan yang pada akhirnya mendorong mereka untuk melepas aset-aset publik kepada investor Amerika.
Guru Besar Ekonomi dari Universitas Missouri-Kansas City, Michael Hudson, dalam wawancara dengan Xinhua awal pekan ini mengatakan neraca pembayaran negara-negara Afrika dan Amerika Latin akan mengalami defisit karena terjadi arus kas keluar dari investasi di portofolio. Selain itu, beban pengeluaran semakin meningkat karena harga minyak, pangan, dan utang luar negeri yang melonjak.
The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada Rabu (4/5) menyusul kenaikan awal sebesar 25 basis poin pada pertengahan Maret, saat putaran pengetatan moneter terbaru dimulai.
Ekonom yang juga menjabat sebagai Presiden Institut Studi Tren Ekonomi Jangka Panjang (Institute for the Study of Long-Term Economic Trends/ISLET) tersebut mengatakan negara-negara berkembang yang menderita akibat memburuknya neraca pembayaran dapat dipaksa untuk menjual aset-aset mereka di domain publik, guna memperoleh pinjaman dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
"IMF akan mengatakan, baik, kami akan memberikan pinjaman uang kepada Anda, namun jika kami meminjamkan Anda uang, Anda harus menjual apa pun yang tersisa dari domain publik Anda kepada investor Amerika," tutur Hudson.
"Semua infrastruktur, cadangan mineral, lahan, hutan Anda, semua yang Anda miliki, Anda harus menjualnya demi memperoleh uang untuk memberi makan diri Anda sendiri," imbuh Hudson.
Pada dasarnya, AS urai Hudson menggunakan kebijakan moneter melalui The Fed untuk membuat negara-negara dunia ketiga bangkrut.
Kesenjangan Kekayaan
Dikatakan, AS memperoleh keuntungan sejak 1970-an dengan memanfaatkan hegemoni dollar. Hudson juga menyoroti peningkatan kesenjangan kekayaan di AS.
Sejak 2008, perekonomian AS pada umumnya mengalami keruntuhan yang lambat dengan menurunnya standar hidup dan hampir semua pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan kekayaan mengalir ke satu persen populasi di AS.
"Jadi, 99 persen perekonomian melambat dan mengalami keruntuhan. Hal itu akan berjalan semakin cepat," kata Hudson.
Menurut Hudson, perekonomian para pemilik rumah, pemilik gaji, pelajar, dan kalangan lainnya yang terlilit utang sedang menyusut dan pemerintah berupaya menyalahkan hal itu kepada Rusia.
"Mereka berupaya agar masyarakat tidak menyadari bahwa masalahnya terletak pada satu persen (populasi) yang menjadi kaya dengan menetapkan klaim kreditur kepada ekonomi yang terlilit utang pada umumnya," papar Hudson.
Stimulus senilai triliunan dollar AS di Amerika sejak awal merebaknya pandemi Covid-19 menguntungkan satu persen populasi, monopoli, industri real estat, dan perusahaan modal swasta.
Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda mengatakan kenaikan suku bunga The Fed akan memicu aliran modal keluar modal dari negara berkembang, termasuk dari Indonesia, sehingga kurs rupiah melemah terhadap dollar AS. Akibatnya, impor bahan baku semakin mahal karena karena transaksi perdagangan global menggunakan dollar AS.
"Utang negara pun melambung karena kurs terdepresiasi terhadap dollar. Ini bahaya bagi negara berkembang jika tidak ada langkah mitigasi," kata Nailul.
Sementara itu, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti mengatakan untuk mengantisipasi kebangkrutan, Indonesia harus mengurangi kebergantungan terhadap negara lain secara perlahan lahan. Salah satunya dengan mengurangi impor barang negara lain dan memperkuat produk dalam negeri.
Selain itu, juga perlu mengurangi utang luar negeri secara bertahap, dan switch dengan kemandirian fiskal. "Perlu debt management yang efisien dan efektif," katanya.
Pemerintah juga diminta meningkatkan ekspor melalui peningkatan daya saing produk lokal di pasar global serta aktif menarik investor bukan hanya asing, tetapi terutama investor lokal.