JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan perlunya menyesuaikan pengaturan impor untuk mendongkrak optimisme pelaku industri di Tanah Air yang terpengaruh oleh pengetatan pasar global, serta adanya regulasi perdagangan yang kurang mendukung.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, di Jakarta, Senin (1/7), mengatakan sektor industri saat ini memang sudah masuk ke kondisi waspada. Optimisme para pelaku industri menurun terhadap perkembangan bisnis mendatang karena melemahnya pertumbuhan pesanan baru yang dipengaruhi oleh kondisi pasar, restriksi perdagangan di negara lain dan regulasi yang kurang mendukung.

Penurunan optimisme itu merujuk pada laporan S&P Global yang menyebutkan pertumbuhan sektor manufaktur kehilangan momentum pada Juni 2024, dengan angka Purchasing Manager's Index (PMI) Juni yang turun 1,4 poin menjadi 50,7 secara bulanan.

Hal itu disebabkan kenaikan yang lebih lambat pada hasil (output), permintaan baru, serta penjualan. Kondisi tersebut langsung mempengaruhi kepercayaan diri industri terhadap hasil bisnis selama 12 bulan mendatang.

Ia menyampaikan penyesuaian kebijakan atau policy adjustment yang diperlukan antara lain mengembalikan pengaturan impor ke Permendag No 36 Tahun 2023, serta pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk sejumlah komoditas.

"Perlu adanya penyesuaian kebijakan untuk mendongkrak kembali optimisme dari pelaku industri," kata Febri.

Pengamat ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, yang diminta pendapatnya, mengatakan pesimisme kalangan industri terjadi bukan hanya karena penurunan pesanan, namun juga disebabkan oleh kenaikan biaya produksi seiring dengan masih banyaknya industri yang mengandalkan bahan baku impor.

"Dengan kurs rupiah sekarang, sudah pasti dunia usaha berbasis bahan baku impor akan terdampak, daya saingnya menurun karena harga produksinya membengkak sehingga memang dibutuhkan kelonggaran bagi industri ekspor kita dari sisi kebijakan. Regulasi perizinan harus dipermudah dan insentif ditingkatkan karena bagaimanapun mereka ini pahlawan devisa negara. Jangan malah dipersulit," kata Leo.

Masa Depan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan langkah pengetatan impor harus dilakukan secepatnya, supaya industri tekstil bisa bersaing dan punya masa depan.

Selain itu, juga perlu memikirkan kembali peraturan terkait impor tekstil dan pakaian jadi dalam khususnya pada Peraturan Menteri Perdagangan No 77/2019 tentang Ketentuan Impor dan Produk Tekstil.

Hal yang sama juga dengan Perdirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan No.02-03/BC/2018 tentang Pusat Logistik Berikat (PLB) yang masih dianggap belum efektif untuk membatasi kegiatan impor, terutama oleh PLB.

Baca Juga: