PHNOM PENH - Sejak 1975 hingga 1999, jutaan warga Kamboja dibunuh, kelaparan, atau dipaksa direlokasi oleh rezim Khmer Merah. Pembuat film keluarga bernama Kalyanee Mam termasuk di antara mereka yang terbuang dari tanah air mereka.

Namun baru-baru ini, Mam melakukan perjalanan kembali ke negara asal keluarganya. "Apa yang saya temukan di sana amat mengejutkan," kata Mam.

Setelah dua dekade rezim komunis jatuh, ribuan warga Kamboja melakukan gelombang perpindahan. Dari komunikasi dengan penduduk setempat di Pulau Koh Sralau, Mam mengetahui bahwa sejak 2007, pemerintah Kamboja telah memberikan konsesi pada beberapa perusahaan untuk menambang pasir di hutan bakau di pesisir negara mereka.

Setiap tahun, jutaan metrik ton pasir Kamboja dikirim ke Singapura untuk memperluas daratan negara pulau itu. Sejauh ini, Singapura mengimpor lebih dari 80 juta ton pasir.

"Orang-orang dan semua makhluk hidup yang bergantung dari hutan-hutan ini untuk mata pencaharian mereka dipaksa untuk menerima kehilangan besar ini," tutur Mam.

Selain menggusur mereka yang tinggal dan bekerja di kawasan itu, kebijakan itu juga telah menghancurkan satu-satunya lahan alami di negara itu yang selama ini berfungsi sebagai penghalang terhadap erosi, naiknya permukaan laut, tsunami, dan angin topan.

Seorang anak muda Kamboja bernama Phalla Vy, telah mendedikasikan dirinya sebagai pemantau dan menyuarakan protes bagi menentang pengerukan pasir itu. Film dokumenter pendek Mam yang berjudul Lost World yang diproduksi bersama oleh Emergence Magazine dan Go Project Films, berisi penuturan Vy tentang dampak yang diderita warga karena kehilangan tempat tinggal, dan mata pencaharian, sehingga mampu membangkitkan haru penonton.

"Sebelumnya saya tak pernah menyaksikan pengusiran dan pengambilan pasir itu dengan mata kepala sendiri," komentar Mam.

Awalnya Mam hanya ingin memahami ke mana perginya semua pasir itu, dan bagaimana sebuah negara yang dianggap sebagai salah satu yang paling makmur di dunia, mampu menghancurkan tempat tinggal orang lain untuk membangun negaranya sendiri.

"Sudah banyak orang menderita karena terpaksa pindah dari negerinya, namun yang saat ini terjadi adalah seluruh tanah kelahirannya dipindahkan juga," ujar Mam.

Pembantai Ekologi

Lost World menampilkan hutan bakau Kamboja yang luas, dengan cuplikan pasir yang dikirim ke Singapura. Di akhir film, untuk pertama kalinya Vy datang ke Singapura dan mendapati warga menikmati taman hiburan baru yang dibangun dari pasir yang berasal dari negaranya.

"Saya lihat secara langsung apa yang terjadi ketika fondasi sebuah komunitas berantakan. Pertama-tama tanah mereka raib, lalu orang-orang, dan tak lama kemudian seluruh jalinan budaya dan identitas bangsa pun hilang," komentar Mam.

Saat Mam dan Vy datang ke Singapura, mereka terkejut oleh ironi. Upaya Singapura untuk menjadi salah satu kota terhijau di dunia telah mengarahkan negara itu untuk apa yang disebut oleh Mam sebagai "pembantaian ekologi".

"Banyak orang Singapura tidak menyadari hal ini, sama seperti banyak orang AS tidak tahu tentang tempat kami berdiri, darah apa yang telah tumpah di tanah ini, dan pengorbanan apa yang telah diambil untuk mempertahankan keberadaan kami saat ini," pungkasnya.SB/theatlantic.com/I-1

Baca Juga: