Pengembangan energi terbarukan di Tanah Air terlihat masih setengah hati menyusul melambatnya progres realiasinya.

JAKARTA - Masih besarnya porsi penggunaan energi fosil sampai saat ini semakin mempersempit ruang gerak perkembangan energi baru dan terbarukan.

Berdasarkan laporan kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran energi primer pembangkit listrik pada 2019 masih didominasi oleh penggunaan batu bara yakni sebesar 60,50 persen. Penggunaan gas dan bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangkit listrik masing-masing mencapai 23,11 persen dan 4,03 persen.

Sementara itu, pemanfaatan EBT untuk pembangkit listrik hanya 12,36 persen. Padahal, bauran EBT ditargetkan sebesar 23 persen pada 2025.

Perkembangan bauran EBT ternyata berjalan lamban. Hingga saat ini, Kementerian ESDM mencatat bauran EBT baru tercapai 15 persen. Jadi, sepanjang tahun ini, hanya terjadi penambahan kurang dari tiga poin persentase.

"Kalau dibandingkan energi primer, (bauran EBT) itu masih 9,15 persen saja," kata Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM, Harris, dalam webinar di Jakarta, Selasa (7/7).

Dia mengatakan pandemi Covid-19 juga turut menjadi kendala untuk meningkatkan bauran EBT. Kendala itu di antaranya adalah pembatasan akses operasional, sumber daya manusia yang minim, dan keterbatasan perlengkapan suku cadang yang dapat diimpor.

Sebelumnya, Program Manager Energy Transformation Institute for Esential Service Reform (IESR) Jannata Giwangkara menyebutkan berdasarkan studi pada 2018, potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 431.745 MW, namun kapasitas terpasang atau baru dimanfaatkan untuk listrik hanya 6.830 MW atau sekitar 1,58 persen.

Menurutnya, potensi energi terbarukan di Indonesia belum dikembangkan dengan optimal. Apabila dibanding negara Asean lainnya, terutama Vietnam yang dalam dua hingga tiga tahun terakhir telah membangun 3.000 MW energi terbarukan. Sementara, secara global di seluruh dunia pada 2009 hingga 2019, rata-rata pembangkit yang ditambahkan lebih besar energi terbarukan khususnya tenaga surya, angin, dan air, seperti di Tiongkok, India, Amerika, dan Jerman.

"Tiongkok mampu membangun 65.000 MW dalam setahun, kapasitas ini setara dengan seluruh pembangkit di Indonesia," ucapnya.
Dosen Fakultas Teknik Universitas Bengkulu, Khairul Amri, mengatakan tantangan pengembangan energi terbarukan adalah teknologi yang digunakan di Indonesia tertinggal dari negara lain seperti Tiongkok dan India.

Jajaki Bisnis


Sebelumnya, perusahaan aliansi atau gabungan Hitachi Ltd dan ABB Ltd dengan Hitachi ABB Power Grids Ltd telah resmi beroperasi untuk menjajaki bisnis pengembangan usaha energi terbarukan di Indonesia. Hitachi sendiri memegang 80,1 persen saham dari perusahaan patungan ini (volume bisnisnya mencapai 10 miliar dolar AS) dan ABB memiliki saham selebihnya

"Teknologi digital terdepan Hitachi, digabungkan dengan solusi power-grid membantu kami berperan dalam transformasi dan dekarbonisasi sistem energi global untuk masa depan energi berkelanjutan," tutur Wakil Presiden Hitachi Toshikazu Nishino.

mad/Ant/E-10

Baca Juga: