>> Penuntasan kasus BLBI bisa dijadikan sebagai tolok ukur kinerja aparat hukum.

>> Sepanjang sejarah di Indonesia dan Asia Tenggara, tidak ada yang bisa mengalahkan korupsi KLBI dan BLBI.

JAKARTA - Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Andy Fefta Wijaya, mengatakan, di tengah tekanan krisis ekonomi akibat Covid-19, pemerintah seharusnya lebih serius dalam menagih dan mengembalikan dana BLBI yang dikorupsi. Pengembalian dana BLBI itu bisa menjadi jalan keluar untuk mengangkat perekonomian nasional. "Uang yang ditilep dan diselewengkan oleh para koruptor ini besar sekali dan harus lebih serius diupayakan pengembaliannya.

Dana itu bisa menjadi alternatif solusi untuk menutup keuangan kita di tengah himpitan pandemi ini. Jika bekerja keras dengan membentuk task force pasti bisa," kata Andy Fefta Wijaya kepada Koran Jakarta, Senin (28/12). Penuntasan kasus BLBI ini bisa dijadikan sebagai tolok ukur kinerja aparat hukum kita. Upaya pengembaliannya adalah salah satu bentuk akuntabilitas pemerintah dalam mengembalikan kepercayaan publik. "Karena itu adalah dana masyarakat, yang menanggung bebannya juga rakyat. Setelah berlangsung dalam beberapa pemerintahan, tapi belum ada hasil, tentu masyarakat bertanya-tanya ada apa ini," pungkas Andy.

Sepanjang sejarah di Indonesia dan Asia Tenggara, tidak ada yang bisa mengalahkan korupsi Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya sudah membengkak menjadi 4.500 triliun, dan sampai sekarang masih berlangsung hingga tahun 2043. Bagaimana tidak, bunganya fix 13,75 persen. Pembiaran ini membuat keuangan negara hancur total. Andy memperkirakan prospek ekonomi Indonesia akan lebih berantakan pada 2021, apalagi saat beban utang pemerintah makin melebar.

Posisi utang pemerintah pusat telah menyentuh 5.910,64 triliun rupiah per akhir November 2020. Angka ini naik hampir 100 triliun rupiah dari Oktober 2020 yang mencapai 5.811,71 triliun rupiah. Posisi ini membuat utang pemerintah mencapai 38,13 persen dari total PDB. Sebagian besar utang ini utamanya disumbang oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebanyak 86 persen atau senilai 5.085,04 triliun rupiah. SBN didominasi oleh jenis penerbitan domestik senilai 3.891,92 triliun rupiah yang terdiri dari 3.181,64 triliun rupiah dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) dan 710,28 triliun rupiah Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk.

Sisa SBN diterbitkan dalam denominasi valas senilai 1.193,12 triliun rupiah. "Utang pemerintah yang makin membengkak terhadap PDB sudah menyimpang jauh dari norma-norma standar," tegas Andy. Sampai saat ini, pemerintah tetap bertahan meminta Bank Indonesia membeli surat utang negara di pasar perdana. Bank Indonesia memborong surat utang pemerintah total 457,3 triliun rupiah hingga 17 November 2020.

Di pasar perdana, BI telah membeli SBN Rp 72,49 triliun melalui mekanisme pasar sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 16 April 2020, termasuk dengan skema lelang utama, Greenshoe Option (GSO) dan Private Placement. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, beralasan, pembelian surat utang itu sebagai bagian upaya mendukung percepatan implementasi program PEN, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi.

Kebijakan ini telah dicela oleh internasional yang mengakibatkan mata uang Indonesia dalam pandangan asing bermasalah. "Kebijakan BI membeli surat utang negara di pasar perdana adalah kebijakan yang tabu, melanggar prinsip moneter," tegas Andy.

Alami Kesulitan

Andy memperkirakan pemerintah akan mengalami kesulitan dalam membayar utang pada 2021. Yang perlu diingat, pada situasi normal saja pemerintah kesulitan membayar utang. Apalagi dalam situasi pendapatan negara makin cekak akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). "Pergerakan masyakarat sangat terbatas sehingga aktivitas ekonomi tidak berjalan. Inilah tantangan dan risiko yang kita hadapi ke depan," tegas Andi.

Dia juga mengkritik kebijakan pemerintah dalam alokasi dana pemulihan ekonomi. Pemerintah cenderung tertutup atau eksklusif. Ini bisa berpotensi mengarah kepada praktik korupsi besar besaran mengalahkan korupsi BLBI dan KLBI. Uang negara menjadi bancakan pengusaha oligarki konglomerat. Dana-dana publik berpotensi habis disedot ke dalam APBN, mulai dari dana pensiun BUMN, dana Jamsostek, dana Asabri, dana Taspen, dana haji, dan dana publik lainnya. n uyo/P-4

Baca Juga: