JAKARTA - Beban konsumen makin berat seiring kenaikan harga pangan dan energi, tarif tol, serta pajak pertambahan nilai (PPN). Bahkan, beban ini sudah berlangsung lama sejak minyak goreng langka dari Oktober tahun lalu. Karena itu, pemerintah diharapkan mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim, menegaskan pengeluaran konsumen sudah pasti membengkak dari kenaikan harga pangan dan energi. Kenaikan PPN menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen tentu akan dibebankan ke barang yang selanjutnya menjadi beban konsumen.

"Pertamax kan sudah naik, begitu juga cabai rawit, daging. Minyak goreng sudah naik duluan. Artinya, semakin tinggi cost yang harus dibayar konsumen baik sebagai dampak langsung maupun tak langsung dari kenaikan harga tersebut," ucap Rizal Edy pada Koran Jakarta, Selasa (5/4).

Adapun BPKN merupakan lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden terkait permasalahan yang dihadapi konsumen. Lembaga ini juga memberikan rekomendasi kebijakan kepada Presiden terkait masalah yang berkaitan dengan konsumen.

Kata Rizal terkait PPN ini, tidak mungkin pelaku usaha mau rugi. Tentunya beban ini mereka timpakan ke harga barang sehingga nantinya biaya itu ditanggung pembeli.

"Itulah yang menambah beban pengeluaran konsumen ditambah dengan kenaikan harga-harga bahan pokok pangan dan energi tadi," ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, mengatakan kenaikan harga kedua komponen tersebut dapat menambah biaya logistik yang berkontribusi besar dalam proses distribusi pangan.

Dia menyebut pemerintah perlu memastikan komoditas pangan tersedia di pasar dengan harga yang terjangkau untuk meminimalkan dampak dari kenaikan BBM dan tarif tol.

"Kenaikan harga akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Dengan daya beli yang menurun, masyarakat akan mengurangi belanja. Padahal belanja rumah tangga bersama konsumsi pemerintah merupakan komponen pertumbuhan ekonomi negara yang relatif dapat didorong oleh pemerintah dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian nasional di saat-saat sulit seperti sekarang ini," ungkap Fellipa Ann.

Menurut dia, biaya logistik berkontribusi sekitar 20-30 persen pada harga pangan. Faktor geografis dan luasnya wilayah Indonesia juga berperan pada hal ini. Sentra produksi pangan banyak terkonsentrasi di satu wilayah, yaitu Pulau Jawa. Karena itu, dibutuhkan proses pengiriman cukup panjang untuk mencapai wilayah lain di Indonesia.

Dia menambahkan salah satu pemicu kenaikan harga karena panjangnya rantai distribusi menyebabkan tingginya biaya logistik yang pada akhirnya akan memengaruhi harga jual di tingkat konsumen. Industri pengolahan makanan dan minuman pun mengalami tantangan tersendiri, seperti banyaknya regulasi yang menambah ongkos dan adanya keterbatasan impor bahan baku.

Jangka Pendek

Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI, Intan Fauzi, menanggapi kebijakan pemerintah yang akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng kepada masyarakat. Menurutnya itu langkah instan dan jangka pendek.

Menurutnya, permasalahan inti minyak goreng ialah RI penghasil terbesar kelapa sawit, tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga sampai terjadi kelangkaan. Seharusnya sebagian besar produksi kelapa sawit dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Baca Juga: