oleh Prima Hadi Putra, ST, MCom

Jakarta yang berpenduduk 10,4 juta pada tahun 2017 memproduksi sampah hingga 7.900 ton per hari. Setidaknya 1.300 truk tiap hari mengangkut sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi. Sampah yang terus meningkat menjadi tantangan tersendiri provinsi DKI Jakarta.

Pemerintah DKI dan DPRD tengah membahas revisi Perda No 3/2013 tentang Pengelolaan Sampah. Sayang, arah membahasan masih menitikberatkan pendekatan pengolahan sampah hilir, dengan mendirikan Integrated Treatment Facility (ITF) di beberapa wilayah Jakarta.

DKI Jakarta perlu memberi ruang luas bagi masyarakat untuk berperan serta mengatasi sampah hulu. Pemikiran ini beranjak dari konsep ekonomi pasar sosial dan lingkungan yang memberi kesempatan besar warga turut bertanggung jawab menyelesaikan dampak aktivitas sehari-hari.

Sampah di Jakarta bukanlah karena minim atau lemahnya regulasi yang mengatur penanganan sampah karena aturan sudah sangat baik. Pasal 13 Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang berlaku efektif sejak 2013 mengamanatkan, tidak boleh lagi ada pengangkutan sampah besar-besaran TPA, kecuali sampah bahan berbahaya dan beracun.

Sampah harus dikelola di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) 3R (reduce, reuse, recycle) lewat optimalisasi fungsi TPST-3R atau pengelolaan sampah tanpa TPA. Sampah harus dikelola di sumber timbulan oleh kelompok pengelola yang terbentuk atas inisiatif warga dan difasilitasi pemerintah daerah.

Regulasi ini diperjelas dengan Peraturan Pemerintah No 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Isinya, pengelolaan sampah harus berbasis komunal dengan orientasi ekonomi.

Sebagai tindak lanjut PP lahir beberapa peraturan di tingkat menteri. Di antaranya, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 13/ 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, Recycle melalui Bank Sampah. Kemudian, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33/ 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah.

Regulasi perlu menekankan agar pemerintah tidak lagi memonopoli pengelolaan sampah. Dia harus melibatkan masyarakat secara langsung selaku produsen sampah. Meski telah memiliki perda, praktik di Jakarta belum sesuai dengan regulasi.

Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) seakan-akan belum mendapat gambaran jelas tentang pelaksanaan regulasi persampahan Ibu Kota. Perda No 3/2013 belum cukup jelas untuk mengatur pengelolaan sampah. Ini khususnya tentang pelibatan masyarakat dalam mengelola TPST-3R di Jakarta.

Dampaknya, SKPD seperti dinas lingkungan hidup, masih mengangkut sampah ke TPA. Hal ini terus menimbulkan masalah baru karena kapasitas dan daya dukung TPA semakin rendah. Seiring dengan revisi perda, pemprov dan DPRD dapat membuat regulasi yang lebih jelas dan mendorong peningkatan kualitas lingkungan serta ekonomi masyarakat Ibu Kota.

Lewat pengelolaan sampah, Jakarta akan ditunjang pengembangan pertanian organik (pupuk organik berbasis sampah) dan energi baru terbarukan (biogas berbasis sampah) yang melimpah untuk mendukung wilayah penyangga Jakarta (Jabodetabek). Sampah menjadi investasi dan bernilai ekonomi karena penunjang pemasukan pendapatan asli daerah.

Solusi

Para pembuat regulasi hendaknya meninjau ulang sistem pengelolaan sampah bisnis ke bisnis (angkutan sampah). Sistem ini pada prinsipnya hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikan. Solusi sampah bukan di hilir (TPA, sungai, waduk dan laut. Sampah harus diselesaikan di hulu (sumber produsen sampah).

Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengubah paradigma tata kelola sampah. Mereka bersama-sama pula mencari solusi. Bila selama ini pemerintah hanya fokus menyelesaikan sampah di hilir, kini saatnya mulai meyelesaikan dari hulu.

Pemprov perlu memasukkan klausul pemberian subsidi silang produk daur ulang dari TPST-3R atau bank sampah yang selama ini beroperasi di Jakarta pada Rancangan Revisi Perda No 3/2013. Subsidi akan memperbesar peluang pemasaran produk-produk daur ulang dan kreativitas bank sampah (BS).

Nanti setiap kecamatan dan kelurahan agar memfasilitasi pembentukan BS berbasis komunal. BS ini harus berorientasi ekonomi dan diberikan pendampingan manajemen, teknologi serta pemasaran produk daur ulang. BS ini juga sebaiknya dilengkapi dengan Instalasi pengolahan sampah organik yang menghasilkan pupuk, biogas dan listrik non-insinerasi di setiap kawasan timbulan sampah.

DKI memberi pelatihan pengelolaan sampah organic dan memberi insentif dalam bentuk tipping fee BS atas pengurangan sampah. Ini termasuk mengarahkan dan memfasilitasi pembentukan koperasi BS (KBS) untuk menjamin kelangsungan pemasaran produk daur ulang. KBS akan berfungsi saat pemberlakuan program extended producer responsibility (EPR) yang merupakan kewajiban industri perkemasan mengambil kembali kemasannya sesuai dengan PP No 81/2012.

Maka, sampah membiayai diri. Lewat investasi, provinsi DKI Jakarta bisa membentuk perusahaan daerah sampah dan pemupukan agar terjadi subsidi silang antara kebersihan, energi terbarukan, dan pertanian secara.

Perusahaan ini juga diharapkan dapat berfungsi menyinergikan antar-SKPD pengelola seperti dinas lingkungan hidup dan pekerjaan umum. Bila pengelolaan secara masif dan terintegrasi di setiap kawasan timbulan sampah, maka secara otomatis akan terjadi pengurangan penggunaan kendaraan angkutan sampah. Malahan mungkin DKI tidak perlu lagi mengirim sampah ke TPA. Penulis Lulusan The University of New South Wales, Australia

Baca Juga: