Kebijakan pendidikan belum mampu memenuhi hak warga negara mendapat pendidikan dan masih diskriminatif. Kondisi ini membahayakan kehidupan bangsa di masa depan.

JAKARTA - Pengelolaan pendidikan nasional sepanjang 2017 mengalami kemunduran serius. Sebagian besar kebijakan pendidikan menunjukkan ketidakpahaman pemegang kendali terhadap pengelolaan pendidikan yang baik dan berkeadilan.

"Kami memberi rapor merah pada pengelolaan pendidikan nasional sepanjang tahun ini. Akses anak terhadap pendidikan berkualitas masih buruk, diskriminasi masih terjadi, tingkat drop out (DO) masih tinggi," kata pengamat Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Said Hamid Hasan, ketika dihubungi, Rabu (20/12).

Menurut dia, diskriminasi terjadi ketika anak Indonesia bersekolah di sekolah yang terakreditasi di bawah B yang menurut ukuran pemerintah sekolah tersebut belum memenuhi kualitas nasional.

Sekolah-sekolah ini, kata Said, tidak mampu meningkatkan kualitas kualifikasi akreditasi karena terlalu banyak persyaratan akreditasi di luar jangkauan kemampuan sekolah "Seperti guru, fasilitas, dan biaya operasional," sebutnya.

Sementara itu, hanya sebagian siswa yang menikmati pendidikan di sekolah berkualitas, akreditasi B dan A. Kebijakan pendidikan di era pemerintahan ini belum mampu memenuhi hak warganegara untuk mendapat pendidikan dan untuk diperlakukan adil (tidak deskriminatif) dalam pendidikan.

Keadaan ini, menurut Said, membahayakan kehidupan bangsa di masa depan. "Sehing- ga, bukan tidak mungkin kebe- radaan bonus demografi akan nyata menjadi musibah demografi," tegas Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan UPI ini.

Konsekuensi lain dari kebijakan pendidikan di era pemerintahan Jokowi -JK di bidang pendidikan karakter yang sedang dikembangkan dalam Kurikulum 2013 mengalami truncated atau pemenggalan. "Hanya dinikmati oleh sebagian anak bangsa yang mendapat pendidikan dan terdidik di sekolah berkualitas," sesal mantan Ketua Tim Pengembang Kurikulim Pendidikan ini.

Kebijakan pendidikan pemerintah saat ini juga tidak jelas arah dan programnya, sehingga masyarakat selalu diberi isu kontroversial yang menghabiskan banyak waktu, pikiran dan energi. "Hal ini menunjukkan kebijakan pendidikan yang hit and run," ungkap Said.

Dalam bidang guru, sambung Said, pemerintah juga belum memiliki pemahaman yang jelas antara kualifikasi dan kualitas. Kondisi ini menyebakan pemerintah tidak mengakui kualifikasi yang sudah dikeluarkan.

"Guru yang sudah memiliki kualifikasi atau akta dianggap tidak berlaku karena istilah bukan sertifikat dan diperoleh tidak melalui sistem pendidikan baru, sehingga terjadi pemborosan dalam jumlah yang sangat besar," imbuhnya lagi.

Kebijakan tentang kurikulum dengan adanya Penguatan Pendidikan Karakter dan Literasi menggambarkan ketidakpahaman tentang kurikulum. "Demikian pula dengan program 'penyesuaian dengan lingkungan' yang dalam kurikulum merupakan bagian dari muatan lokal dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)," kata Said.

Selain itu, lanjutnya, kebijakan menjadikan guru mata pelajaran (mapel) kelompok A SMK menjadi guru kelompok produktif memperkuat indikasi ketidakpahaman Mendikbud tentang kurikulum, pendidikan dan profesi guru. "Program kerja guru yang 8 jam dan 5 hari kerja suatu awal yang baik walaupun penerapannya tidak bisa berlaku sama di seluruh Indonesia," ujar Said.

Menyiapkan Fondasi

Sementara itu, Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Muhadjir Efendy, menjelaskan bahwa secara umum pemerintah terus melakukan perluasan akses dan meningkatkan mutu pendidikan. Pada tahun pertama, pemerintah memang fokus pada menyiapkan fondasi.

Selanjutnya pada tahun kedua pemerintah melakukan percepatan langkah dan bekerja secara nyata. cit/E-3

Baca Juga: