Pemerintah harus memiliki data akurat sehingga setiap pernyataan publik benar-benar akurat dan sesuai fakta.

JAKARTA - Penanganan masalah pangan tahun ini dinilai salah satu yang terburuk. Pernyataan kementerian teknis yang menangani urusan pangan selalu bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Di media, harga disebut stabil tetapi kenyataan di lapangan justru bergejolak.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti menegaskan klaim Menteri Perdagangan (Mendag Muhammad Lutfi) harga pangan tahun ini lebih stabil itu salah besar. Sebab, faktanya harga di lapangan 2-4 kali lipat dari harga normal. "Itu salah besar. Ini terburuk sepanjang sejarah Indonesia," tegasnya di Jakarta, Jumat (18/3).

Menurut Esther, Indonesia negara penghasil crude palm oil (CPO), namun harga minyak goreng yang merupakan produk olahan minyak sawit mentah mahal sekali. Jika harga minyak goreng dan gas serta bahan bakar minyak naik, sudah dipastikan kalau harga bahan pangan lainnya juga naik.

Esther mengatakan penerapan harga eceran tertinggi (HET) tak bisa mencegah harga minyak goreng melangit karena pasti ada rembesan. Solusinya kebijakan untuk alokasi CPO ekspor, domestik, dan biodiesel harus dikaji.

Kedua, lanjut Esther, price differential atau selisih harga antara pasar luar negeri dan domestik harus kecil agar tidak ada rembesan atau kebocoran CPO ke luar negeri. "Ketiga menata rantai tata niaga industri minyak goreng. Kali ini struktur industri oligopoli secara alamiah," papar Esther.

Dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (17/3), Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebutkan sejumlah harga pangan pokok masih stabil menjelang bulan puasa Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri dibandingkan beberapa bulan ke belakang, termasuk pada periode Natal dan tahun baru maupun Lebaran tahun lalu.

"Harga beras stabil di kisaran 10.400 rupiah untuk beras medium dan 12.400 rupiah untuk premium. Kebutuhan beras nasional tahun ini mencapai 30 juta ton, sementara produksi dalam negeri tahun 2022 diperkirakan mencapai 31 juta ton," kata Lutfi.

Sampaikan Data

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengatakan, statement apa pun tujuannya dari Pemerintah harus didasarkan pada data yang valid. Sebab, jika tidak maka bisa dikatakan pernyataannya tidak benar dan menyebabkan distorsi.

Menurut Said, kementerian dan tentu menteri perlu menyampaikan fakta dan data yang sebenarnya bukan sebaliknya demi sekedar menyenangkan pihak pihak tertentu. Sementara realitasnya sebaliknya.

Kementerian menduga masyarakat atau ibu rumah tangga/ keluarga melakukan penimbunan minyak goreng sehingga terjadi kelangkaan. Lalu muncul lagi pernyataan sekaligus pengakuan dadi Kemendag kalau minyak langka karena lari ke pasar luar negeri alias diekspor. Terakhir, ketika minyak masih langka, muncul pernyataan bahwa minyak langka karena ada mafia.

"Dengan statement ini publik jadi bisa tahu dan paham kementerian tidak punya data dan pengetahuan yang cukup terhadap masalah yang ada sehingga argumentasinya berubah ubah. Atau bisa juga mereka tahu tetapi tak bisa apa apa," ucap Said.

Karenanya, Said menilai ke depan tentu saja seharusnya tidak lagi terjadi situasi seperti ini. Pemerintah harus memiliki data akurat sehingga setiap statement publik benar-benar akurat dan sesuai fakta.

Baca Juga: