Setelah pengepungan selama tiga bulan, Austria belum berhasil membuat masyarakat Venesia menyerah. Salah satu strategi untuk mengalahkannya adalah pengeboman udara dengan balon.
Setelah pengepungan selama tiga bulan, Austria belum berhasil membuat masyarakat Venesia menyerah. Salah satu strategi untuk mengalahkannya adalah pengeboman udara dengan balon.
Meskipun masa kejayaannya mungkin sudah lama berlalu, Venesia tidak kehilangan daya tariknya hingga saat ini. Di Teluk San Marco di kota yang berjuluk La Serenissima (yang paling tenang) itu, masyarakatnya masih merayakan setiap tahun upacara pernikahan antara Kota Venesia dan laut yang dikenal dengan nama The Festa Della Sensa. Upacara inilah yang menjadi sumber kekuatan dan kemakmuran kota ini di masa lalu.
Berada di balik laguna sebagai berfungsi sebagai pelindung, membuat musuh tidak pernah mampu menyerang Venesia selama berabad-abad. Kendala itulah yang menyebabkan pasukan Austria memutuskan mengerahkan senjata baru pada 1849.
Sebelumnya kota ini telah dikepung oleh mereka selama tiga bulan. Meskipun penduduknya merasa semakin kesulitan, mereka terus dapat mempertahankan diri. Hal ini membuat orang-orang Austria menjadi tidak sabar untuk segera mengalahkannya.
Pada pagi hari tanggal 12 Juli tahun tersebut, sebuah senjata baru tiba-tiba terbang dari langit. Tentu saja hal ini sejenak memukau penduduk Venesia. Benda terbang itu adalah sekawanan balon udara yang diikatkan bom kecil dengan kabel, yang meledak satu demi satu di udara.
Awalnya ada kekhawatiran besar di kalangan warga Venesia. Namun dalam beberapa saat segera berubah menjadi lega ketika ternyata sebagian besar bom meledak di laguna. Tidak satupun bom dari balon udara berhasil yang mencapai sasarannya.
Belakangan muncul gambar yang menunjukkan kota itu terbakar, namun kenyataannya kota itu selamat. Ketakutan di antara mereka yang terkepung dengan cepat berubah menjadi euforia, seperti yang kemudian ditulis oleh Giovanni Debrunner (hidup antara 1816 hingga 1873).
Debrunner yang saat itu menjadi komandan garnisun, dalam sebuah buku tentang peristiwa itu menulis: "Ketika orang-orang melihat gelembung sabun (sebutan yang mengejek saat itu) melayang ke arah Mestre, mereka bertepuk tangan dan berteriak viva dan bravo," tulis dia.
Untuk memahami kegagalan ini, perlu melihat kembali ke masa lalu. Saat itu Venesia memberontak melawan Austria pada 1848. Austria mengusir orang-orang Venesia dari kota mereka setelah lebih dari tiga puluh tahun mendominasi. Venesia yang telah merdeka kemudian memproklamasikan dirinya sebagai Republik San Marco. Namun Austria tidak mengakuinya.
Pada April 1849, mereka mulai menembaki kota tersebut dari daratan. Namun usaha itu mengalami kegagalan, sehingga mereka sadar merebut kota tersebut secara militer tidak akan mudah. Adanya laguna yang mengelilingi menjadi penghalang alami bagi wilayah itu.
Bagi kapal-kapal asing, tidak mudah berlayar di sini. Mereka tidak mengetahui letak alur pelayaran di perairan ini sehingga cukup sulit kapal untuk dinavigasi. Jika kurang memperhatikan dengan seksama, maka dapat menyebabkan kapal kandas. Selain itu, terdapat banyak benteng militer di sekitar laguna.
Setelah Austria menyadari bahwa penaklukan klasik tidak mungkin dilakukan, mereka muncul dengan ide untuk mengebom kota dari udara. Di balik taktik baru ini pada saat itu adalah seorang spesialis artileri bernama Letnan Franz Freiherr von Uchatius (yang hidup antara 1811 hingga 1881).
Ia memiliki dua ratus balon kecil berbahan tekstil yang memiliki daya dukung cukup untuk mengangkut bom seberat lima belas kilogram. Dia memasangkannya dengan sekering dengan waktu pembakaran tiga puluh menit.
Staf garnisun di Venesia mengetahui hal ini dan, menurut Komandan Giovanni Debrunner, mereka memikirkan hal berikut. "Di kota kami diketahui bahwa setelah berminggu-minggu pemboman yang gagal, musuh akan mencoba melakukannya dari udara, karena persiapan sedang dilakukan di Treviso. Tidak ada yang menganggapnya serius dan bahkan ada kartun di surat kabar yang menunjukkan balon udara tempat tentara Austria menjatuhkan bom," tulis dia.
Salah Perhitungan
Orang Venesia mungkin menganggap enteng masalah ini, namun bagi orang Austria hal ini serius. Marsekal lapangan Josef Radetzky (1766-1858), komandan mereka di Italia utara, yakin dengan rencana tersebut dan meminta kaisar di Wina untuk melaksanakannya.
Setelah izin diberikan, bom balon tersebut dibawa ke daratan sedekat mungkin dengan pinggiran kota. Awalnya mereka ingin meluncurkannya di Mestre, namun di Venesia angin selalu bertiup dari laut ke daratan. Pada kondisi ini balon tidak akan pernah bisa mencapai laguna dengan cara ini. Hal ini menjadi potensi kegagalan pertama.
Franz von Uchatius kemudian mengusulkan untuk membawa balon-balon itu ke Lido dengan kapal dan membiarkannya naik dari dinding pantai antara laguna dan laut. Namun kali ini, angin yang sangat berubah, sumbu yang terlalu pendek, dan bahan balon yang mudah terbakar menjadi perusak dan beberapa contoh bahkan melayang ke Mestre dan meledak di atas pasukan mereka sendiri.
Oleh karena itu, pihak Austria yang salah perhitungan dan pihak Venesia mempunyai banyak alasan untuk merasa terhibur dengan hal ini. Sayangnya tidak untuk waktu yang lama, kondisi kesehatan mereka yang dikepung mengalami kemerosotan, akibat kelaparan dan kelelahan.
Seketika itu kolera juga merebak di wilayah Venesia. Akibatnya Daniel Manin (yang hidup antara 1804-1857), seorang pemimpin Republik San Marco, pada akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain menyerah.
Pemboman udara pertama dalam sejarah tidak berhasil. Baru pada tahun 1911, bom serangan udara kedua dilakukan lagi, namun kali ini menggunakan pesawat. Pesawat itu yang dikerahkan oleh Italia yang melakukan pemboman udara untuk melawan tentara Ottoman di Libia. hay/I-1