Dirjen WTO ke depan miliki tugas berat untuk mengembalikan kredibilitas lembaga di tengah tren perdagangan global yang menjurus kea rah proteksionisme.

JENEWA - Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan melakukan suksi kepemimpinan menyusul pengunduran diri Direktur Jenderal Ricardo Azevedo dari Brasil pada 31 Agustus mendatang, setahun sebelum masa jabatannya. Namun, pemimpin WTO ke depan dinilai memikul tugas berat untuk mengembalikan kembali kredibilitas lembaga yang kini terus turun.

Azevedo enggan mengungkapkan secara jelas alasan pengunduran dirinya. Namun, dia hanya mengatakan pengunduran diri dilakukan karena alasan pribadi. Meski demikian, dia beharap kepemimpinan berikutnya mampu mengelola organisasi lebih baik lagi, terlebih di masa era kenormalan baru atau new normal.

"Saya kira organisasi membutuhkan pemimpin yang berbeda dalam menghadapi permasalahan di era pasca pandemi Covid-19," ujarnya singkat, seperti dikutip dari lama CNBC, Rabu (8/7).

Saat ini, muncul sejumlah kandidat bersaing memperebutkan kursi nomor satu di organisasi yang bermarkas di Jenewa, Swiss tersebut. Mereka di antaranya, Jesus Seade Kuri dari Meksiko, Ngozi Okonjo-Iweala dari Nigeria, Abdel-Hamid Mamdouh dari Mesir, Tudor Ulianovschi dari Moldova, Yoo Myung-hee dari Korea Selatan (Korsel), Amina C Mohamed dari Kenya, Mohammad Maziad Al-Tuwaijri dari Arab Saudi, dan Liam Fox dari Inggris.

Terlepas dari siapa yang bakal terpilih, sejumlah analis memperingatkan pimpinan WTO ke depan mempunyai pekerjaan rumah yang sangat berat, yakni mengembalikan kredibilitas lembaga di saat perdagangan luar negeri saat ini bukan menjadi prioritas sejumlah negara.

"Tantangan utama adalah bagaimana mempertahankan para pemain besar sambil mempertahankan logika kerja sama multirateral," ujar pakar ekonomi dari London School of Economics, Gianmarco Ottaviano.

Seperti diketahui, WTO kini dalam tekanan setelah Amerika Serikat (AS) pada Desember tahun lalu memutuskan untuk memblokir penunjukan dua anggota baru ke badan banding. Dengan demikian, WTO belum dapat memutuskan sengketa baru dagang antara negara anggota sejak saat itu.

Seruan AS


Awal tahun ini, Presiden AS Donald Trump menyerukan pembubaran WTO karena hanya menguntungkan segelintir negara, terutama Tiongkok. Pernyataan itu disampaikan setelah sekelompok anggota WTO menyepakati aturan khusus perdagangan demi mendorong perekonomian mereka.

Pernyataan Trump dinilai merusak citra lembaga yang didirikan sejak 1995. Bahkan, mereka menyebut kehadiran WTO masih diperlukan.
"Kita sangat butuh WTO. Tak ada alternatif lain. Organisasi (WTO) perlu direstorasi segera dan tata kelola kelembagaan perlu diperbaiki," jelas Direktur Eksekutif CEPS, Karel Lannoo.

Kritikan lain terhadap WTO muncul karena lembaga tersebut dinilai gagal menegakkan aturan yang dibuat, terutama terkait hak kekayaan intelektual (HaKI). Karenanya, para pejabat dari Uni Eropa dan AS sepakat mereformasi WTO.

"Peran WTO ke depan akan hilang karena secara umum tren (perdagangan) menuju proteksionisme," jelas Fredrik Erixon, pakar perdagangan global dari ECIPE.

mad/CNBC/E-10

Baca Juga: