JAKARTA - Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan, meminta pemerintah tidak maju-mundur dalam menerapkan aturan baru terkait energi baru dan terbarukan (EBT). Apa pun risiko yang terjadi di lapangan, regulasi ini harus dijalankan.

Beleid yang dimaksudnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

"Pemerintah harus konsisten dalam menerapkan Perpres tentang pengembangan EBT. Keberadaan Perpres ini sudah sangat mendesak sehingga apa yang telah diprogramkan pemerintah bisa terealisasi," kata Mamit Setiawan ketika dihubungi Koran Jakarta, Minggu (25/9).

Dia mengingatkan, jangan sampai penerapannya setengah hati seperti yang terjadi dengan aturan pajak karbon yang implementasinya sudah dua kali ditunda pada tahun ini.

"Pemerintah harus konsisten dengan Perpres ini. Jangan sebentar-sebentar berubah lagi," tandasnya.

Kenapa harus konsisten, terang Mamit, karena Perpres 112/2022 ini merupakan langkah awal dalam regulasi terkait dengan EBT. Melalui Perpres ini, arah pengembangan EBT di Indonesia sudah semakin terlihat dan diharapkan konsisten dalam menjalankan aturan tersebut.

Konsistensi itu termasuk juga terkait dengan pelarangan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru bagi PLTU yang tidak masuk dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) maupun yang tidak bisa memberikan dampak ekonomi.

Melalui aturan harus mengurangi emisi sebesar 35 persen setelah sepuluh tahun beroperasi merupakan komitmen pemerintah untuk mengurang emisi dan menuju green.

"Pembatasan operasi sampai 2050 juga saya kira langkah tepat menuju net zero emission (NZE) pada 2060 yang akan datang," pungkasnya.

Lebih Diterima Masyarakat

Pendapat senada disampaikan Pakar Energi Terbarukan dari Universitas Brawijaya, Malang, Suprapto. Dia menyambut baik atas terbitnya Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Pengembangan EBT Rendah Emisi.

Pemerintah memang harus mengutamakan energi terbarukan sambil perlahan mengurangi porsi pemakaian PLTU. "Perpres itu positif, agar ada pijakan untuk mencapai target 30 persen renewable energy pada 2025," kata Suprapto kepada Koran Jakarta.

Kalau tidak ada aturannya, kata Suprapto, tentu akan sulit mewukudkan pembangkit energi terbarukan karena harus bersaing dengan energi fosil dengan harga yang masih di bawahnya. Perpres ini bisa menjadi alat untuk meningkatkan dan mengembangkan berbagai insentif untuk para calon investor renewable energy, importer suku cadang dan instrumen lainnya.

"Juga bisa menekan ongkos produksi energi terbarukan. Dengan demikian, energi terbarukan dapat lebih diterima masyarakat karena price-nya bersaing," katanya.

Baca Juga: