Bunuh diri masih menjadi masalah senyap di Indonesia. Insiden bunuh diri kemungkinan besar jauh lebih tinggi dari data resmi, menurut penelitian terbaru. Stigma seputar masalah kesehatan jiwa dan kelemahan sistem pendataan dianggap menjadi penyebab utamanya.
JAKARTA -Pada 2023, Desty Endah Nurmalasari membuat resolusi untuk menjadi lebih tenang. Dia bertekad untuk memperbaiki ibadah, dan lebih banyak berbicara dengan keluarga dan kawan-kawannya. Sudah lebih dari 10 tahun perempuan berusia 34 tahun itu bergelut dengan masalah kejiwaan, yang pernah mendorongnya untuk hampir bunuh diri.
Desty didiagnosis dengan gangguan bipolar pada 2012, satu hari setelah dia diwisuda. Karena waktu itu belum mengerti tentang masalah jiwa, dia memutuskan untuk berhenti berobat setelah tujuh bulan. Namun halusinasinya mulai kambuh lagi dan dia mulai mendengar "bisikan" di kepalanya.
Halusinasi itu semakin hari semakin parah dan mengarah ke pikiran untuk bunuh diri.
"Bisikannya begini, 'Desty, coba kamu pergi ke tengah jalan raya situ'," tutur dia seperti dilansir kantor berita BBC News Indonesia, Rabu (25/1)
Beberapa tahun sebelumnya, kampung tempat tinggal Desty di Yogyakarta diguncang dengan kasus bunuh diri. Seorang perempuan di rumah tetangganya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan meminum obat nyamuk. Selang beberapa tahun kemudian kakak perempuan itu - dari keluarga yang sama - melakukan gantung diri di depan rumahnya.
Desty menyaksikan sendiri bagaimana dua insiden tersebut membuat orang-orang "heboh" dan menjadikan keluarga itu bahan omongan di kampung. Keluarga itu sendiri menganggapnya sebagai "luka", dan tidak pernah menyinggungnya lagi.
Bagi Desty, pengalaman itu justru membuat dia tidak jadi bunuh diri dan mulai mencari pertolongan.
"Itu mungkin yang membuat saya sadar bahwa bunuh diri itu masih dianggap aib dan tidak baik. Itu yang membuat ketika saya ada suara-suara untuk bunuh diri, saya langsung lapor kepada orang tua," ungkap dia.
Meskipun pada kasus Desty dampaknya baik, anggapan bahwa bunuh diri adalah aib menjadi salah satu penyebab persoalan ini sebagian besar masih terabaikan di Indonesia. Anggapan tersebut membuat banyak keluarga cenderung tidak melaporkan kasus bunuh diri.
Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Kurangnya data telah menyembunyikan skala sebenarnya dari persoalan bunuh diri di Indonesia, menurut sejumlah pakar.
Padahal, WHO mengatakan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019.
Studi tahun 2022 itu, yang belum melalui proses telaah sejawat, membandingkan data kepolisian, yang merupakan data resmi untuk bunuh diri, dengan Sample Registry System (SRS) di Kementerian Kesehatan.
Dr Sandersan Onnie, mahasiswa pasca-doktoral di Black Dog Institute Australia dan peneliti utama dalam studi tersebut, mengatakan angka bunuh diri yang sebenarnya bisa jauh lebih besar dari yang terlapor karena berbagai masalah dalam alur pendataan.
"Di setiap proses dalam alur ini bisa terjadi ada error-nya atau ada flaw-nya di mana misalnya keluarganya nggak mau kasih tahu polisi karena mereka malu karena stigma. Ataupun karena polisinya itu juga ingin melindungi keluarganya maka tidak diinvestigasi lebih jauh karena ini bunuh diri; kalau ada dokter di rumah sakit juga sama, untuk melindungi keluarganya tidak melaporkan bahwa ini bunuh diri," kata dr Sandy - demikian panggilan akrab dia.
SRS adalah survei yang bertujuan mengetahui angka dan penyebab kematian secara mendetail. Survei ini dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, yang sekarang sudah berganti nama menjadi Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan.
Merujuk data SRS pada tahun 2018, yang sudah disesuaikan dengan estimasi kelengkapan survei 55 persen, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia sebesar 1,12 per 100.000 penduduk.
Menurut Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia pada 2018 adalah 267,1 juta jiwa. Ini berarti ada 2.992 kematian akibat bunuh diri di tahun tersebut.
Peneliti di Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, Yuslely Usman, mengatakan dugaan angka bunuh diri sebenarnya lebih tinggi dari data resmi itu mungkin, mengingat SRS mencatat lebih banyak kematian daripada yang tercatat di Sistem Admin Kependudukan (Adminduk).
Dia mengatakan, pelaporan kematian di Indonesia "belum sempurna".
Peraturan meminta RT/RW melaporkan kematian ke Dukcapil, sehingga keluarga memperoleh akta kematian. Namun ini bukan hal wajib, sehingga banyak keluarga yang tidak melaporkannya.
"(Kematian) umum aja mereka tidak melaporkan, enggak ada untungnya mereka mendapatkan akta kematian itu. Apalagi bunuh diri, banyak yang menutup-nutupi," kata Yuslely.
Namun dia menerangkan bahwa sebenarnya, kasus bunuh diri itu perlu dikonfirmasi oleh polisi. Kepolisian biasanya membedakan antara tiga jenis kematian tidak alami (unnatural death) - kecelakaan murni, pembunuhan, atau bunuh diri.
Akan tetapi, banyak masyarakat tidak melaporkan kasus kematian tidak alami, ungkap Yuslely.
Karena data bunuh diri di Indonesia under-reported - angka sebenarnya lebih kecil dari yang tercatat - persoalan bunuh diri juga under-resourced - sumber daya yang dicurahkan untuk menanganinya kecil, kata Sandy.
"Karena kalau kita lihat hanya sebatas datanya saja kok problemnya kelihatan kecil maka resource yang kita akan taruh untuk menangani problem tersebut itu kecil ... Tapi pas ketahuan publik yang besar maka resource yang akan diberikan itu akan lebih besar menurut saya. Resource yang ada saat ini: sangat, sangat, sangat, sangat kurang," ujar dia.
Contohnya, kata Sandy, saat ini Indonesia tidak memiliki layanan hotline yang berkelanjutan dan konsisten. Banyak hotline bunuh diri didanai secara pribadi dan tutup ketika dananya habis.
Ini tidak bagus, menurut Sandy, karena bisa membuat orang lama-lama tidak percaya pada hotline.
Ia mengakui bahwa selama 5 tahun terakhir memang ada perkembangan yang cukup pesat dalam kesadaran tentang kesehatan jiwa. Namun, pengerahan sumber daya dan usaha Indonesia mungkin baru 10 persen dari Australia, ujarnya, sementara di Australia bunuh diri masih jadi penyebab utama kematian bagi warga usia muda.
"Jadi kita efeknya baru sepersepuluh, dan negara yang jauh lebih maju saja problemnya masih besar. Jadi kita enggak bisa mimpi untuk menyelesaikan masalah ini, dengan upaya maupun organisasi yang ada sekarang," kata Sandy.
Dianggap Aib
Menurut Sandy, stigma seputar bunuh diri menjadi salah satu hambatan terbesar dalam pendataannya.
Di Indonesia, bunuh diri dipandang sebagai aib - hal yang begitu memalukan, sehingga tidak ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Inggris. Banyak yang menganggap tindakan itu sebagai kegagalan moral.
"Polisi dan rumah sakit pun mengerti karena di beberapa desa kalau misalnya ketahuan anggota keluarga bunuh diri itu nanti dikata-katain bahwa orang tuanya nggak benar lah, pasti mereka ada dosa lah, mereka doanya nggak benar lah. Jadi untuk menghindari mereka distigmatisasi seperti itu, maka orang itu akan kemungkinan lebih besar tidak melaporkan bahwa itu kejadian bunuh diri," tutur Sandy, seraya menambahkan bahwa stigma dan tabu ini ada di semua lapisan masyarakat.
Agama juga berperan, kata Sandy, di mana orang yang bunuh diri dianggap telah melakukan dosa besar dan orang yang depresi kerap dipandang "kurang iman". Menurut pengamatan dia, keyakinan agama dapat menghentikan seseorang untuk mencoba bunuh diri maupun mencegah seseorang untuk mencari pertolongan.
Pandangan tentang bunuh diri tidak lepas dari stigma seputar masalah kesehatan jiwa yang masih ada di masyarakat. Banyak orang dengan masalah psikososial masih dieksklusi dari kegiatan sosial.
Hal itu dirasakan sendiri oleh Desty, yang mengatakan dia pernah kehilangan pekerjaan sebagai pengajar setelah kepala sekolah mengetahui bahwa dia menderita masalah psikososial.
"Ini membuat saya berpikir, Lah wong saya saja yang kesehatan jiwanya sudah pulih belum bisa dipercaya orang, kalau misal orang tahu saya pernah berusaha bunuh diri pasti saya akan malu," ujar dia.
Arshinta dari Pusat Rehabilitasi Yakkum mengatakan survei yang dilakukan organisasinya dalam rangka program kesehatan jiwa berbasis masyarakat di 11 desa di Yogyakarta pada 2017 menemukan bahwa 70 persen orang dengan masalah kejiwaan tidak punya kegiatan produktif.
"Ketika masyarakat ditanya, mengapa (mereka) tidak dilibatkan, jawabnya takut, atau tidak tahu apakah mereka (orang dengan masalah kejiwaan) bisa ngapa-ngapain," kata Arshinta.
Dia mengatakan, intervensi berbasis masyarakat dengan mengajak pemimpin agama terbukti efektif menangkal stigma tersebut. Setelah empat tahun, jumlah orang dengan masalah kejiwaan yang terlibat dalam kegiatan produktif meningkat dari 30 persen jadi hampir 70 persen.
"Orang mungkin mikir 'ah ini isu kecil dibandingkan kemiskinan, dibandingkan bagaimana menyejahterakan masyarakat, atau meningkatkan ekonomi' ... tetapi perlu diingat, apalagi setelah ada covid, kita tahu bahwa kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa semakin besar dan risikonya akan semakin tinggi kalau tidak ditangani sejak awal," ungkap dia.
Hambatan Struktural
Tabu dan kesadaran seputar bunuh diri juga berkaitan dengan hambatan struktural, kata Sandy.
Hingga saat ini belum ada standarisasi cara merekam data bunuh diri di rumah sakit, dengan kebijakan privasi yang memadai untuk isu sesensitif ini.
"Kita tahu kalau orang melaporkan ada kejadian bunuh diri itu lebih banyak stigma sosialnya, maka yang perlu dilakukan adalah yang mengumpulkan data itu perlu dilatih untuk menangani situasi seperti itu, misalnya orang orang yang terlibat dalam registri sistemnya," kata Sandy.
Lalu, ada problem bahwa luka akibat percobaan bunuh diri tidak ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional.
Indonesia Case-Based Groups (INA-CBGs), daftar diagnosis yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan, mencakup berbagai masalah kesehatan jiwa. Namun, bunuh diri masih dianggap sebagai tindakan melukai diri sendiri sehingga tidak ditanggung.
Hambatan ini membuat beberapa psikolog kadang-kadang 'memoles' sedikit diagnosis supaya pasiennya dapat mengakses jaminan kesehatan, kata juru bicara Ikatan Psikolog Klinis Indonesia, Annelia Sari Sani.
Misalnya, orang yang depresi dengan pikiran bunuh diri jadi didiagnosis sebagai "psikotik dengan depresi" supaya obat anti depresannya ditanggung BPJS. Padahal, depresi dan psikotik adalah dua jenis gangguan yang berbeda.
Hal itu terpaksa dilakukan, imbuh Anne, karena orang-orang yang depresi dengan pikiran bunuh diri biasanya menderita kondisi yang melumpuhkan, sehingga kesulitan untuk bekerja, belajar, dan bersosialisasi.
"Nah karena diagnosisnya diganti tentu pelaporannya, jadinya 'nggak bunyi' kan bahwa ini adalah depresi dengan suicidal thought," kata Anne.
Maka tak heran, imbuhnya, bila angka psikotik atau skizofrenia di Indonesia meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), yang terakhir kali dilakukan Kemenkes pada 2018, mencatat prevalensi skizofrenia/psikosis di Indonesia meningkat jadi 6,7 persendari 1,7 persen yang dicatat pada Riskesdas sebelumnya di tahun 2013.
"Daripada kita tetap bersikukuh dengan yang diagnosis yang benarnya terus orang tersebut tidak dapat bantuan BPJS kan kasihan... Ya apa boleh buat kita menempuh jalan itu karena bagaimanapun formularium obatnya bisa sama. Makanya kita selalu melakukan promosi juga ke para pembuat kebijakan. Sebenarnya bahwa ini sistemnya harus ganti," ujar dia.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menjelaskan bahwa percobaan bunuh diri tidak dijamin oleh BPJS berdasarkan Perpres no. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Kalau dari logikanya karena itu mencelakai diri dengan sengaja, meskipun kita masalahnya itu bukan soal motifnya tapi diatur dalam peraturan presiden jadi kita tidak boleh melanggar itu," kata Ghufron.
Namun ia menekankan bahwa BPJS menjamin perawatan orang dengan masalah kejiwaan yang mengalami indikasi medis, bahkan biaya konsultasi dalam keadaan stabil pun dijamin. "Oleh karena itu perlu kalau diusulkan di situ revisi dari peraturan presiden," ujar dia.
Direktur Kesehatan Jiwa di Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan drg Vensya Sitohang mengatakan Kemenkes sedang melakukan advokasi agar tindakan melukai diri dianggap sebagai akibat dari suatu gangguan jiwa, sehingga percobaan bunuh diri dapat ditanggung oleh JKN.
Revisi Perpres tentang BPJS Kesehatan masih dalam proses, kata Vensya seraya menerangkan bahwa pencegahan bunuh diri termasuk dalam agenda transformasi kesehatan yang lebih luas yang dicetuskan oleh Menteri Kesehatan Budi G Sadikin. Agenda tersebut mencakup transformasi layanan primer dan layanan rujukan.
Salah satu programnya yang terkait upaya pencegahan tindakan bunuh diri yaitu skrining kesehatan jiwa di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), seperti Puskesmas.
"Deteksi dini, skrining, dan sebagainya tentu menjadi pilar yang utama untuk bisa diberikan kepada masyarakat, khususnya melalui FKTP ataupun pelayanan primer," kata Vensya.
Ia menambahkan, sejumlah rumah sakit jiwa yang berada di bawah pengelolaan Kemenkes sudah menyediakan layanan hotline untuk dukungan psikososial. Contohnya RSJ Marzoeki Mahdi Bogor dan RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta.
Selain itu, Kemenkes juga mengatakan melakukan upaya promotif dan preventif seputar kesehatan kepada anak-anak muda khususnya pada kelompok anak usia sekolah dan remaja.
Di antaranya, program pencegahan bunuh diri bagi siswa sekolah - dilaksanakan bekerja sama dengan UNICEF - serta program yang disebut Kampus Sehat, promosi kesehatan jiwa pada mahasiswa.
Kemenkes juga telah meratifikasi untuk melaksanakan Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu dengan komitmen menurunkan angka kejadian bunuh diri sebesar sepertiga pada tahun 2030.
"Hal yang diinginkan di pengembangan model ini adalah bagaimana mereka bisa terhindar dari masalah kesehatan jiwa, sehingga yang dikembangkan adalah upaya promotif-preventifnya supaya mereka bisa meningkatkan taraf kesehatan jiwanya dan, untuk yang sedang dalam faktor risiko, bisa terhindar dari timbulnya masalah-masalah kesehatan jiwa yang pada akhirnya bisa menjadi percobaan bunuh diri," pungkas Vensya. BBC/I-1