YOGYAKARTA- Peneliti Bahasa Enggano dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Wening Udasmoro menyebutkan Bahasa Enggano di Pulau Enggano, Bengkulu Utara, menjadi salah satu bahasa daerah di Tanah Air yang terancam punah.

Wening dalam keterangannya di Yogyakarta, Jumat, menuturkan ancaman kepunahan itu karena saat ini hanya sekitar 30 persen dari penutur Suku Enggano yang masih menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

"Saya mengamati beberapa kepala suku di Enggano. Ironisnya, mereka sama sekali tidak mengenali Bahasa Enggano yang telah dituliskan oleh orang asing," ujar Wening.

Hasil pengamatan itu, menurut Wening, juga menunjukkan bahwa pengucapan dan pelafalan Bahasa Enggano sangat berbeda dari bahasa lainnya secara umum.

Ahli bahasa dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM Aprillia Firmonasari juga mengamini bahwa Bahasa Enggano mengalami ancaman serius dengan jumlah penutur yang semakin berkurang.

Meski belum pernah ke Enggano, Aprilia mengaku sempat membimbing mahasiswa untuk melakukan penelitian mengenai kepunahan bahasa itu.

Mengutip data terbaru dari Summer Institute of Linguistics (SIL), kata Aprilia, ada sebanyak sebelas bahasa yang terancam punah di Indonesia. Padahal, menurut Aprilia, hilangnya satu bahasa berarti hilangnya warisan budaya yang tak ternilai.

"Sehingga mungkin ada perlu usaha-usaha preservasi bahasa agar bahasa-bahasa yang terancam punah itu bisa kita lakukan strateginya," ucap dia.

Antropolog UGM Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra menambahkan perlu strategi untuk menghadapi situasi dimana bahasa daerah harus diajarkan secara sistematis di sekolah.

Dengan memiliki 700 bahasa daerah, menurut dia, Indonesia membutuhkan banyak guru yang mampu mengajarkan bahasa-bahasa tersebut.

"Perlu adanya guru-guru yang mau untuk menjadi guru bahasa daerah. Sayangnya, banyak orang yang menggunakan bahasa daerah tidak mengetahui tata bahasanya," ujar dia.

Selain guru bahasa daerah, menurut Heddy, perlu pula dikembangkan buku pelajaran bahasa daerah secara komprehensif. Salah satu solusi yang ia usulkan adalah mendirikan museum bahasa sebagai wahana belajar dan mendengarkan percakapan dalam bahasa daerah.

"Selain itu kita juga bisa memanfaatkanethnoscienceuntuk memperkaya pengetahuan tentang bahasa-bahasa ini," ujar dia.

Sebagai salah satu upaya pelestarian Bahasa Enggano, UGM pun menggarap sebuah film dokumenter berjudul "Senja Kala Bahasa Enggano".

Direktur Kajian dan Inovasi Akademik UGM sekaligus Produser Film dokumenter Senja Kala Bahasa Enggano, Hatma Suryatmojo menyampaikan saat ini terdapat banyak cara untuk menyampaikan pesan penting kepada publik, salah satunya melalui media audiovisual.

Video dokumenter, lanjutnya, menjadi pilihan yang sangat relevan terutama bagi generasi muda yang lebih menyukai konten dalam bentuk visual.

"Dari sudut pandang ini, film dokumenter tentang Bahasa Enggano bukan hanya berfungsi sebagai sarana untuk mengedukasi, tetapi juga sebagai alat untuk memperjuangkan pelestarian budaya dan bahasa yang tengah terancam punah," ujar Hatma. Ant

Baca Juga: