Memanfaatkan sawit menjadi biofuel akan terhambat jika industri pendukung, khususnya katalis, tidak dibangun.

Dua calon presiden, Joko Widodo dan Prabowo Subiantoro, pada depat calon presiden belum lama ini, sepakat untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Bahkan keduanya juga sepakat jika tingginya produksi sawit nasional seharusnya dapat menjadi alternatif bahan bakar biofuel.

Namun di sisi lain, meski produksi sawit kita sangat besar, upaya memanfaatkannya menjadi biofuel akan tetap sulit bahkan terhambat jika industri pendukung, khususnya katalis, tidak dibangun. Katalis yang menjadi bahan kimia penting untuk mengubah sawit menjadi bio fuel masih harus impor.

Peneliti di perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Indonesia sebenarnya sudah berhasil mengembangkan teknologi katalis yang bernilai ekonomi. Hanya saja, belum banyak industri yang berminat memproduksi hasil inovasi itu. Hal ini, antara lain, disebabkan produksi katalis tidak menjanjikan skala produksi dan keuntungan yang tinggi.

Akibatnya, hampir seluruh kebutuhan tersebut diimpor dan sebagian kecil diproduksi di Indonesia dengan lisensi dari luar negeri. Ketua Masyarakat Katalis Indonesia (MKI), Dr. Subagjo, yang juga menjadi peneliti katalis dari ITB Bandung, mengatakan bahwa penelitian pengembangan katalis ini sebenarnya sudah dirintis sejak 35 tahun lalu.

Subagjo merintis bersama para peneliti di Teknik Kimia bersama sejumlah mahasiswa program studi Teknik Kimia S1, S2, dan S3 di ITB. Penelitian dan pengembangan formula, karakterisasi dan uji kinerja katalis dalam skala laboratorium dilakukan di ITB. Sedangkan pengujian skala pilot project dan juga skala industri dilakukan di Industri.

Untuk itu, Prof Subagjo yang juga Guru Besar Teknik Industri ITB, menegaskan bahwa kerja sama dengan industri sangat penting. "Kerja sama dengan industrisangat diperlukan terutama untuk pengujian skala pilot dan juga skala industri.

PT. Pupuk Iskandar Muda dan Pertamina (Persero) adalah mitra-mitra industri pertama yang memberi kesempatan pengujian hasil pengembangan laboratorium di reaktor skala industri," ujar Subagjo belum lama ini, saat menerima kunjungan Menkomaritim di ITB.

Artinya, memang saat ini, hampir seluruh kebutuhan katalis di impor. Hanya sebagian kecil volume yang diproduksi di Indonesia. Itu pun dengan lisensi dari luar negeri. Katalis tersebut diproduksi oleh pabrik tertentu dengan komposisi, kondisi operasi, dan resep-resep lainnya yang sudah dipatenkan.

Karena itu, tentu saja ada biaya yang harus dibayar kepada pemilik paten. Lalu apa kira-kira penyebab industri Indonesia tidak bisa menjanjikan kebutuhan katalis dalam skala yang besar?

Apakah kualitas katalis Indonesia masih kurang baik dibandingkan kualitas buatan luar negeri? atau industri Indonesia lebih yakin akan kualitas katalis buatan luar negeri dibandingkan dengan katalis buatan Indonesia? Ternyata tidak. Sebab, katalis bukanlah merupakan hal yang asing dalam industri kimia.

Katalis merupakan suatu zat yang dapat mempercepat dan mengarahkan reaksi kimia supaya menghasilkan produk yang diinginkan. Hampir 90 persen proses di industri kimia melibatkan katalis. Hal ini merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pengembangan dan penyelenggaraan industri kimia, industri perminyakan, dan perlindungan lingkungan.

Akan tetapi, belum ada industri di Indonesia yang mengembangkan katalis. Akibatnya, kebutuhan industri kimia Indonesia akan katalis terpaksa harus dipenuhi dengan melakukan impor dari negara lain terutama Amerika, Jepang, dan Eropa. Inilah yang mendasari tim peneliti dari Laboratorium Teknik Reaksi Kimia dan Katalisis (TRK) ITB untuk terus menggencarkan penelitian dan pengembangan katalis.

Hal ini dilakukan dalam rangka mewujudkan kemandirian Indonesia akan katalis. Untuk mewujudkan hal ini, Laboratorium TRK ITB dengan Subagjo sebagai pimpinan melakukan banyak upaya untuk menjalin kerja sama dengan industri-industri kimia di Indonesia. Kerja sama dilakukan dalam rangka mengembangkan katalis hasil karya dalam negeri.

Tidak mudah untuk menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan, karena banyak pemimpin perusahaan yang masih berpikir untuk tetap mengimpor katalis dari luar negeri. Alasan impor karena lebih praktis dan biaya katalis merupakan komponen kecil dari total biaya produksi, umumnya sekitar 0,1-0,4 peren.

Kondisi itu tidak menyurutkan semangat tim Laboratorium TRK ITB untuk tetap menjalin kerja sama dengan perusahaan-perusahaan dalam negeri. "Kami berharap bertemu dengan pimpinan yang ada garuda di dadanya, yang berani mengambil risiko demi terwujudnya pengembangan katalis dalam negeri," kata Subagjo.

Dengan kegigihan dan semangat yang tinggi, Lab TRK ITB berhasil menjalin kerja sama dengan berbagai industri dalam negeri. "Alhamdulillah, kami bertemu dengan pemimpin perusahaan yang peduli terhadap kemajuan Indonesia," tutur Subagjo. Kerja sama pertama kali dijalin dengan Pupuk Iskandar Muda (PIM) menghasilkan adsorben berbasis Oksida Besi untuk adsorpsi H2S dalam gas Bumi.

H2S ini berbahaya karena dapat merusak seluruh katalis yang digunakan di pabrik amoniak. Penelitian ini dimulai pada 1995 hingga 2003 dengan dibantu oleh mahasiswa S3. Formulasi dan pengujian kapasitas adsorpsi menggunakan reaktor dengan 1 gram adsorben diawali di Laboratorium TRK ITB.

Kemudian setelah kinerjanya terbukti baik, pengujian dilakukan di PIM Lhok Seumawe menggunakan reaktor skala pilot dengan 40 kg adsorben, dan dilanjutkan pengujian akhir di unit demonstrasi dengan 680 kg adsorben.

Dari hasil pengujian, adsorben menunjukkan kinerja yang baik, bahkan lebih baik daripada katalis yang digunakan sebelumnya. Adsorben tersebut kami beri nama PIMITB1, gabungan antara PIM dan ITB. Kemudian pada 2009, PIMIT-B1 akhirnya diproduksi massal di PIM Lhok Seumawe, di Pulau Sumatra.

Hasil dari Pabrik ini sudah digunakan oleh PT. Pertagas Sumbagut sebesar 5 ton, dan digunakan oleh Medco Lematang sebesar 15 ton. Kerja sama yang kedua dijalin dengan Pertamina untuk mengembangkan katalis hydrotreating Nafta (NHDT) berbasis Ni-Mo/y-AI2O3.

Katalis NHDT ini digunakan untuk menyingkirkan senyawa sulfur dan nitrogen pada fraksi minyak bumi, khususnya nafta, sebab senyawa sulfur dan nitrogen pada bahan bakar akan menghasilkan SOx dan NOx ketika ikut terbakar dan senyawa ini dapat menyebabkan hujan asam serta akan membahayakan lingkungan.

Penelitian yang dimulai pada tahun 2004 ini mengambil tempat formulasi dan pengujian awal di Lab TRK ITB. Setelah teruji dengan baik, kemudian diuji ulang pada reaktor skala pilot dengan 100 g katalis di Laboratorium Research and Development Pertamina. Setelah itu, bersama Pertamina dilakukan pengujian katalis sejumlah 3,6 ton di unit hydrotreater kilang Dumai.

Pengujian ini menunjukkan kinerja yang baik. Bahkan lebih baik daripada katalis sebelumnya dan rencananya pada tahun 2014 akan diproduksi 30 ton katalis untuk kilang-kilang lainnya.

Berkat keberhasilan proyek katalis NHDT ini, kerja sama ITB dengan Pertamina berlanjut untuk melakukan pengembangan katalis DHDT. Yaitu untuk hydrotreating diesel dan katalis HDO untuk konversi minyak nabati menjadi biosolar dengan bilangan setan yang sangat tinggi, dan katalis Fluid Catalytic Cracking untuk proses perengkahan fraksi berat minyak bumi.

Kerja sama yang ketiga dijalin dengan PT. Ecogreen Oleochemicals untuk mengembangkan katalis hidrogenasi lemak ester menjadi lemak alkohol. Untuk diketahui Ecogreen harus mengimpor katalis bubuk CuCr 100 ton per tahun dari luar negeri. Penelitian ini dimulai pada tahun 2011.

Prosesnya kemudian berhasil diformulasikan katalis CuCr pertama produk dalam negeri di skala pilot sebesar 2 liter dengan hasil yang memuaskan. Perkembangan pembuatan katalis di tanah air telah berada pada fase pertumbuhannya.

Namun ini tak akan ada artinya jika generasi muda tidak peduli akan kemajuan bangsanya sendiri. Sudah saatnya bibit-bibit muda Indonesia berkarya di tanahnya sendiri, bukan di negara orang lain.

tgh/E-6

Baca Juga: