Oleh: Romli Atmasasmita

Jika kita mendengar atau membaca penegakan hukum dilontarkan oleh presiden atau pejabat penyelenggara negara, terutama bagi kaum awam, hukum tentu merupakan kejutan besar bahwa tanda ratu adil akan tiba. Akan tetapi bagi kaum paham hukum, tentunya pernyataan presiden dan pejabat penyelenggara negara itu hal yang lazim terjadi pada setiap pergantian kepemimpinan nasional lima tahun sekali.

Setelah dijalankan pemerintahan, pernyataan yang semula lantang dan berulang-ulang kemudian senyap menghilang ditelan layaknya malam dini hari, padahal matahari masih terang benderang. Makna dari pernyataan ini adalah hukum dan penegakan hukum layaknya window-dressing di toko-toko swalayan atau transaksi online, tampak menarik, tetapi nyata buruk rupa.

Lima tahun kepemimpinan nasional selama 79 tahun kemerdekaan RI bukan waktu yang singkat, tetapi juga waktu yang lama. Namun demikian, hukum dan penegakan hukum bagai benang basah dan di akhir masa pemerintahan Jokowi tampak menyeramkan karena syahwat kekuasaan atau tetap berkuasa telah dibalut hukum yang secara membabi buta digunakan layaknya buldozer menguruk tanah di perbukitan, dihantam semua yang menghadang dihadapannya, pohon kecil, besar, dan juga cacing-cacing tanah di bawah sampai ke sarangnya.

Kita semua ingin melupakan masa lalu hukum dan tegaknya hukum yang sangat menyedihkan, menusuk hati nurani kita, terutama pemikir dan praktisi hukum yang masih punya akal sehat. Akan tetapi, pemerintahan baru harus tetap berjalan dan didukung sepenuhnya oleh kita dengan sikap kritis dan konstruktif agar bersama-sama mengawal dan menjaga pemerintahan Prabowo Subianto berjalan pada jalur hukum dan politik yang tidak lagi menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi, keluarga, atau golongan.

Bagaimana caranya? Pertama, seluruh anggota lembaga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus tidak hanya bersumpah sebelum memangku jabatannya, tetapi tetap istiqamah menjalankan tugas dan kewajiban melaporkan harta kekayaan yang dimiliki sejujurnya tanpa harus menjalankan pola "petak umpet". Kedua, bersedia diperiksa dan diklarifikasi harta kekayaan yang telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketiga, lembaga negara yang ditugasi pengawasan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara wajib ditingkatkan, baik aspek kuantitas maupun kualitasnya sehubungan dengan jumlah kabinet Prabowo mencapai 104 menteri dan wakil menteri, ditambah dengan organisasi dan tata laksana 48 kementerian dan berikut wakil menteri masing-masing.

Bersinergi

Lembaga eksekutif sebagai eksekutor kebijakan (policy) pemerintahan, legislatif sebagai pengawas jalannya pemerintahan, dan terakhir lembaga yudikatif yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan bersinergi sepanjang terkait manajemen administrasi penyelenggaraan negara.

Satu-satunya pengalaman buruk ketika penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah berkolaborasi untuk memandulkan hukum dan tegaknya hukum demi kepentingan sesaat, baik politik maupun transaksi bisnis oligarki harus dicegah dan dihindarkan sejauh-jauhnya dengan cara mengingat kembali sumpah jabatan yang telah dilafalkan di bawah kitab suci agama masing-masing disertai kekuatan psikis dan nalar sehat untuk tidak menyimpang dari tugas dan kewajiban yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangannya.

Kesulitan atau hambatan lembaga pengawasan, termasuk lembaga pengawas keuangan negara dan perbankan serta pasar modal, adalah tumpang tindih peraturan perundang-undangan sektoral dan jikapun tidak, ditegakkan secara sengaja ditumpang-tindihkan untuk menyesatkan aparatur hukum yang mengawasinya.

Kebiasaan buruk aparatur penyelenggara negara baik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta praktisi hukum harus segera dihentikan dan jikapun terjadi, harus diberikan sanksi yang tegas dan keras sebagaimana kehendak Presiden Prabowo Subianto.

Namun, apakah penegakan hukum yang tegas dan keras itu sudah memadai untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat kita? Jawabannya belum cukup karena pembagian 48 kementerian dan kelembagaan negara/pemerintah yang ada dan akan dibentuk dipastikan menghambat dan mempersulit sistem pengawasan bekerja secara efektif dan efisien. Jika penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan keras, sepatutnya juga penegakan hukum dilaksanakan secara tegas, keras, dan bijaksana, bukan bijak sana dan bijak sini.

Bagaimana caranya? Penegakan hukum yang tegas, keras, dan bijaksana di dalam situasi globalisasi ekonomi yang tanpa batas di mana ibarat, "jarum jatuh pun di dalam negeri seluruh dunia akan mengetahuinya". Diperlukan perubahan pendekatan (approach) yang semula bersifat legalistik-sistematis-logis, perlu dilengkapi dengan pendekatan analisis ekonomi mikro yang dilandaskan pada prinsip optimalisasi/maksimisasi (maximization), keseimbangan (equilibrium), dan efisiensi (efficiency) atau prinsip, nilai (values), kegunaan atau manfaat (utility), dan efisiensi (Romli Atmasasmita, Kodrat Wibowo, cetakan kedua, 2017, halaman 79).

Globalisasi ekonomi dunia terbukti berdampak luas, dan masif serta merata ke seluruh perkonomian negara-negara di dunia. Perkembangan tersebut telah memaksa semua negara bergabung menghadapi masalah dan dampak globalisasi yang telah mengakibatkan semakin besar saling pengaruh antara negara satu dan lainnya.

Di belahan negara-negara anggota Uni Eropa dan Amerika Serikat, sistem hukum dan ekonomi telah berkelindan sejak tahun 1970-an yang dikenal dengan Analisis Ekonomi Makro tentang Hukum (Economic Analysis of Law, Richard Posner) sehingga pola penyelesaian sengketa hukum baik dalam transaksi bisnis (perdata) maupun pelanggaran pidana tidak semata-mata bertumpu pada berproses di pengadilan dan penghukuman, atau kedua hal tersebut merupakan satu-satunya solusi yang dipandang adil dan bermanfaat.

Contoh, dalam hal terjadi tindak pidana korupsi/suap dalam perkara Boeing di mana terdakwa, eks Dirut PT Garuda, yang telah dijatuhi hukuman denda satu miliar rupiah, tetapi pemberi suap korporasi Boeing, berbadan hukum AS, tidak dihukum di negaranya. Begitu juga di Indonesia dengan pertimbangan bahwa direksi korporasi Boeing telah mengakui kesalahannya, bersedia membayar denda penalti karena telah memberikan suap kepada eks Dirut PT Garuda, dan korporasi Boeing wajib membayar denda penalti yang kemudian diketahui 10 x lipat pidana denda yang telah dijatuhkan pengadilan tipikor kepada eks Dirut PT Garuda.

Mengapa hal ini bisa terjadi di sana (sistem hukum AS)? Melalui pendekatan analisis ekonomi maka penyelesaian kasus Boeing di sana telah berakhir dengan efisien, efektif, dan bermanfaat, di mana korporasi Boeing yang telah membayar pajak pendapatan besar dari devisa kepada negara AS menjadi bahan pertimbangan daripada korporasi dijatuhi hukuman sehingga korporasi Boeing harus mengalami kehancuran dan tidak ada lagi pemasukan untuk pemerintah AS.

Merujuk pada kasus Boeing, seyogianya penegakan hukum di Indonesia era pemerintahan Prabowo Subianto mempertimbangkan kembali pendekatan normatif-sistematis-logis tanpa pendekatan analisis ekonomi dengan prinsip, keseimbangan, maksimalisasi, efisiensi, dan manfaat.

Baca Juga: