JAKARTA - Pemberhentian Ahmad Irfan sebagai direktur utama Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (Bank BJB) masih menyisakan polemik. Pencopotan tersebut dinilai melanggar aturan mengenai perseroan terbatas (PT).
Pengamat hukum korporasi Indonesia, Dewi Djalal menilai, secara normative pemberhentian itu sangat tidak sesuai dengan Undang-undang (UU) PT. UU tersebut mengatur secara jelas dasar proses pemberhentian seorang direksi PT.
"Berdasarkan UUPT wajib dilakukan pemberitahuan kepada yang bersangkutan (direksi yang mau dihentikan) minimal 14 hari sebelum RUPS bukan dilakukan saat RUPS," kata Dewi di Jakarta, Selasa (18/12).
Dewi menjelaskan dalam RUPS pun yang bersangkutan berhak atas Hak Jawab dan beberapa syarat formal dan material yang harus dipedomani. Dewi pun mengaku heran mengapa Dirut BJB diberhentikan belum lama ini, mengingat perusahaan perbankan tersebut sudah menghasilkan profit cukup besar.
Minta Klarifikasi
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Penilaian Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna. Ia mengatakan, BEI mempertanyakan pencopotan Direktur Utama Bank BJB, Ahmad Irfan. "Saat informasi ada di publik, berita-berita yang ada di media massa kami coba klarifikasi untuk mendapat respons," ujarnya.
Dia menambahkan, tidak menutup kemungkinan pihak BEI melakukan pemanggilan terhadap BJB untuk melakukan evaluasi.
"Pencopotan tersebut belum diketahui apakah sudah sesuai dengan prosedur di BEI atau tidak. BEI akan menanyakan lebih lanjut atas pencopotan dirut BJB agar dapat memastikan apakah pencopotan sudah sesuai prosedur," tandasnya.
Seperti diketahui, Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) Bank BJB pekan lalu memutuskan pemberhentian secara terhormat Direktur Utama Ahmad Irfan.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil beralasan pemberhentian tersebut dilakukan karena Pemerintah Provinsi Jabar selaku pemegang saham menilai Bank BJB memerlukan sosok baru untuk mewujudkan dua visi baru, yakni memaksimalkan kredit mikro dan menjadikan Bank BJB sebagai bank pembangunan.tgh/E-10