Proses gagal ginjal akut berlangsung cepat hanya dalam hitungan hari bila tanpa penanganan yang tepat. Untuk itu, pencegahan sedini mungkin sangat penting dilakukan.
JAKARTA - Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril, menyebut, proses terjadinya penyakit gagal ginjal akut berlangsung cepat. Tanpa ada penanganan, prosesnya berlangsung dalam hitungan hari sejak terjadinya gejala awal.
"Proses cepat sekali bahkan hitungannya hari dan tidak lebih dari 2 minggu," ujar Syahril, dalam konferensi pers, di Jakarta, Selasa (1/11).
Dia menerangkan, gagal ginjal akut ditandai berkurangnya produksi urine. Kalau ginjal rusak maka tidak akan terjadi produksi urin atau dalam kata lain sudah masuk dalam stadium tiga.
Dia menambahkan, jika pasien sudah masuk tahap tersebut maka penanganan akan sulit karena butuh cuci darah dan hemodialisa. "Ini jadi kesulitan tersendiri jika sudah masuk ke stadium tiga. Semakin cepat itu semakin baik," jelasnya.
Syahril menekankan, pentingnya pencegahan sedini mungkin dalam penanganan gagal ginjal akut. Untuk itu, pihaknya mendatangkan obat Fomepizole sebagai antidotum atau penawar racun dalamtubuh pasien.
"Antidotum diberikan ketika pasien sudah ada gejala dan terjadi intoksikasi, segera diberikan untuk menetralisir racun-racun agar tidak jadi kristal-kristal yang menghancurkan ginjal. Sehingga fungsi ginjal sebagai metabolisme tubuh akan terganggu," katanya.
Dia menuturkan, Fomepizole didatangkan dari Jepang, Singapura, dan Australia dengan jumlah 246 vail. Obat tersebut diberikan kepada 17 rumah sakit yang sedang merawat pasien-pasien gagal ginjal akut. "Kita masih punya stok 100 apabila nanti ada lagi pasien-pasien yang sedang dirawat membutuhkan obat Fomepizole atau penawar tersebut," terangnya.
Dia mengungkapkan, data kumulatif penyakit gagal ginjal akut progresif atipikal sampai dengan 31 Oktober 2022 sebanyak 304 kasus. Sebanyak 46 kasus dalam perawatan, 159 meninggal, dan 99 sembuh. "Angka kasus kita tidak begitu bertambah dengan cepat lagi dan angka kematian tidak begitu banyak, bahkan menurun dari angka sebelumnya," tandasnya.
Ganti Bahan Baku
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito, memastikan industri farmasi boleh mengganti bahan baku selama tetap memenuhi persyaratan dan harus sepengetahuan BPOM.
"Apabila ada kondisi di mana mereka mengganti, suplier atau formulasi dilaporkan ke BPOM dan mendapat izin. Itu termasuk dalam perubahan variasi minor dari suatu produksi obat," ujar Penny.
Terkait kasus gagal ginjal akut yang disebabkan cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), dia menyebut industri yang melanggar seperti PT Yarindo dan PT Afi Farma tidak melakukan hal tersebut. Industri tersebut bahkan memiliki catatan buruk dari BPOM.
"Industri yang melanggar terkait gagal ginjal akut tidak melakukan (pelaporan) itu. Industri tersebut juga banyak melakukan pelanggaran," jelasnya.
Penny menuturkan, industri farmasi juga merupakan aktor penting dalam mengimplementasikan sistem jaminan keamanan dan mutu produksi obat. Produsen harus memenuhi cara produksi obat yang baik (CPOB) yang sudah ada dalam ketentuan.
Dia menyontohkan, ketika produsen membeli bahan baku dari distributor, mereka harus memvalidasi langsung dan melakukan pengujian sendiri. Hal tersebut untuk memastikan bahan baku tersebut masuk dalam kategori Pharmaceutical Grade (PG).
"Untuk pelarut, biasanya ada harga yang mencolok sekali antara PG dengan industrial grade. Biasanya untuk industri lebih murah karena tidak melalui sistem purifikasi yang level tinggi," katanya.