JAKARTA - Radikalisme yang berujung pada aksi teror menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 beberapa aksi teror yang bermula dari radikalisme tetap terjadi seperti pengeboman di Makassar, penyerangan markas Polri, maupun aksi perusakan makam oleh pelajar di Solo beberapa waktu lalu.

Kasus terakhir seolah membuktikan radikalisme tidak hanya menyasar orang dewasa, tapi juga anak-anak. Bukan tidak mungkin upaya pencegahan radikalisme sejauh ini kurang menyentuh anak-anak yang masuk dalam kelompok rentan.

Pemerintah harus mulai memperhatikan kondisi tersebut. Kasus di Solo hanya satu dari sekian kasus yang terjadi. Tanpa penanganan serius banyak kerugian yang akan terjadi.

Kerugian jangka pendek, kehidupan sosial masyarakat dapat terganggu jika kasus serupa terjadi pada masa mendatang. Sedangkan untuk jangka panjang, radikalisme menjadi salah satu hal yang berpotensi menghambat bonus demografi bagi Indonesia. Tanpa penangan serius, alih-alih meraih bonus demografi, Indonesia bakal mendapat bencana demografi.

Upaya pencegahan harus dimulai sedini mungkin. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat memegang peran penting sebagai garda terdepan dalam menghadang radikalisme dan terorisme terinternalisasi dalam keluarga.

Pengasuhan Berbasis Hak

Dalam acara Sosialisasi Pencegahan Anak dan Keluarga dalam Paham Radikalisme dan Terorisme yang digelar daring, Selasa (13/7), Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Rohika Kurniadi Sari, mengatakan berbagai persoalan terkait perlindungan dan pemenuhan hak anak berawal dari keluarga.Keluarga mencerminkan bagaimana kualitas bangsa dan negara ke depan.

Terkait radikalisme dan terorisme, dia mengatakan harus ada sinergi dan komitmen pemerintah serta masyarakat untuk bergerak mencegah secara masif. Kemen PPA berharap keluarga-keluarga di seluruh Indonesia akan menjadi lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi tantangan radikalisasi dan terorisme.

"Ini diawali dari mitigasi dalam pengasuhan anak berbasis hak anak," ujarnya.

Untuk mendukung hal tersebut, Kemen PPPA bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperkuat Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dalam mencegah anak dan keluarga dari radikalisme. Rohika menerangkan nantinya para psikolog/konselor serta Dinas PPPA pengampu Puspaga mampu memahami pentingnya pencegahan radikalisme dan terorisme pada anak dan keluarga.

"Saat ini jumlahnya 189 Puspaga dengan psikolog yang tersebar di seluruh Indonesia. Puspaga memiliki fungsi layanan informasi maupun bimbingan kepada keluarga yang dapat membantu mengoptimalisasikan peran keluarga dalam mencegah tindakan radikalisme dan terorisme terhadap anak dan keluarga," tandasnya.

Sementara itu, Deputi Program Impak dan Kebijakan Save The Children Indonesia, Tata Sudrajat mengatakan timbulnya intoleransi, radikalisme, dan terorisme memiliki kaitan dengan bagaimana pola pengasuhan anak dalam keluarga. Tantangan pola pengasuhan anak dalam keluarga dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan pola pikir orangtua.

Dia menilai keluarga yang menganut intoleransi, radikalisme, dan terorisme cenderung memiliki pola asuh yang toxic parent. Kondisi tersebut berisiko tinggi memudahkan paparan radikalisme dan terorisme.

"Sedangkan, keluarga seharusnya memiliki kelekatan, aman, dan menerapkan disiplin positif dalam pola pengasuhan pada anak. Disiplin positif dapat mencegah terpaparnya keluarga dari intoleransi, radikalisme, dan terorisme," jelasnya.

Faktor Penyebab

Pada kesempatan tersebut, Direktur Pencegahan BNPT, R Ahmad Nurwakhid mengatakan pola radikalisme dan terorisme oleh dunia internasional sudah dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan kejahatan kemanusiaan atau kejahatan serius. Akar masalah dari radikalisme dan terorisme adalah ideologi menyimpang yang berpotensi menyasar siapa saja tanpa mengenal agama maupun pekerjaan.

"Pola berawal dari potensi radikal yang berubah menjadi motivasi radikal jika dipicu oleh beberapa factor, di antaranya politisasi agama, pemahaman agama yang menyimpang, intoleransi, kemiskinan dan kebodohan," jelasnya.

Dia menambahkan, faktor lain bisa juga dipicu oleh lingkungan dan media sosial sehingga dapat membentuk individu yang radikal-terorisme. Dia menekankan, radikalisme dan terorisme dapat berpotensi pada seluruh manusia tidak mengenal agama, suku, bangsa, pekerjaan, maupun tingkat pendidikan.

"Oleh sebab itu, kita harus menjadi influencer untuk persatuan dan kedamaian yang berbasis kebenaran, jangan hanya diam terhadap penyebaran konten yang mengandung unsur radikalisme dan terorisme. Negara tidak dapat bekerja sendiri dalam mencegah radikalisme dan terorisme, untuk itu dibutuhkan kerja sama dan sinergitas seluruh pihak," ucapnya.

Secara terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menilai perkembangan teknologi digital mengakselerasi tingkat keterpaparan termasuk aksi-aksi teror berkedok agama. Dia mencontohkan, forum atau pengajian untuk menyebarkan aksi teror kini bisa memanfaatkan teknologi digital.

Alissa berharap masyarakat bisa memperkuat pemahaman keagamaan yang lebih moderat. Dengan begitu masyarakat mampu membentengi diri dari radikalisme berkedok agama. "Sekarang digital dari manapun bisa. Tidak ada sekat fisik dan keterlibatan jadi makin besar," imbuhnya.

Alissa menekankan pentingnya literasi digital demi mencegah keterpaparan radikalisme melalui teknologi digital. Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendukung dengan menangani ujaran kebencian dan ajakan melakukan kekerasan baik di dunia digital maupun sehari-hari.

"Banyak ajakan melakukan kekerasan terhadap kelompok minoritas, aliran-aliran kecil, kemudian ujaran kebencian masih bertebaran di media sosial. Jadi pemerintah perlu meningkatkan level kerjanya dalam hal ini," terangnya.

Baca Juga: