Yang penting dilakukan saat ini adalah masing-masing orang yang melakukan perjalanan harus taat dengan protokol kesehatan Covid-19 yang sudah ditentukan.

Dunia penerbangan adalah salah satu sektor yang paling terpuruk selama wabah Coronavirus Disease 19 (Covid-19) melanda dunia. Pandemi ini telah memutus pergerakan manusia dari satu daerah ke daerah lain guna menghindari bertambah cepatnya penularan penyakit yang menyerang pernapasan ini.

Bersamaan diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), 10 April lalu, pemerintah resmi menghentikan sementara layanan transportasi udara komersial dan carter, kecuali dinas kenegaraan. Larangan terbang tersebut berlaku mulai 24 April hingga 1 Juni, dan merupakan lanjutan dari larangan mudik saat Lebaran.

Bandar udara yang biasanya sibuk orang lalu-lalang, mendadak jadi sepi dan lengang. Dampaknya, hotel dan destinasi wisata yang selama ini diharapkan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, seolah-olah mati. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak bisa dielakkan lagi karena perusahaan harus tetap menanggung biaya pemeliharaan sementara pemasukan sama sekali tidak ada.

Pemerintah gamang, akhirnya membuka penerbangan secara terbatas. Hanya orang-orang yang memenuhi kriteria saja yang boleh terbang, yaitu penumpang yang punya surat tugas, penumpang yang butuh layanan kesehatan darurat, dan penumpang repatriasi, serta orang-orang yang sangat mendesak harus terbang karena saudara intinya meninggal dunia atau sakit. Itu pun masih harus menunjukkan surat-surat kelengkapan seperti: surat hasil negatif Covid-19 berdasarkan rapid test atau Polymerase Chain Reaction (PCR) dan surat keterangan sehat, kemudian surat tugas dari instansinya, serta khusus bagi warga DKI harus mempunyai Surat Izin Keluar Masuk (SIKM).

Fakta di lapangan, banyak orang yang tidak memenuhi kriteria terbang memaksa untuk terbang. Debat panjang soal kelengkapan surat tak terhindarkan lagi yang menyebabkan antrean mengular. Akibatnya, banyak orang terlambat terbang. Perlahan, peraturan yang sangat ketat tersebut satu persatu diperlonggar. Tujuan utamanya, menggerakkan kembali roda perekonomian yang sudah terpuruk dan membiasakan masyarakat hidup dengan pola kenormalan baru.

Dan yang terakhir, kabar gembira, kalau boleh dibilang sebagai kabar gembira, Kementerian Kesehatan mencabut aturan rapid test atau swab test (PCR) sebelum melakukan perjalanan dan diganti hanya dengan mengukur suhu tubuh. Tidak diberlakukannya rapid test lagi bagi pelaku perjalanan, termasuk perjalanan udara, bisa jadi mempertimbangkan beberapa kelemahan rapid test tersebut.

Saat ini, untuk memeriksa apakah seseorang tertular Covid-19 atau tidak, selain rapid test ada juga metode yang dinamakan swab PCR atau uji usap. Rapid test bertujuan untuk penyaringan awal. Kelebihannya, cepat dan metode penyaringannya relatif mudah. Kelemahannya, rapid test tidak dapat dijadikan patokan diagnosis untuk mendeteksi apakah seseorang terinveksi Covid-19 atau tidak. Idealnya sih dilakukan uji usap dua kali. Kalau dari dua kali tes tersebut tidak ditemukan virus korona maka orang tersebut bisa dibilang negatif Covid-19.

Karena kelemahan metode rapid test tersebut maka langkah Kementerian Kesehatan mencabut wajib rapid test atau swab test sebelum melakukan perjalanan patut mendapat acungan jempol. Yang penting dilakukan saat ini adalah masing-masing orang yang melakukan perjalanan harus taat dengan protokol kesehatan Covid-19 yang sudah ditentukan. Selalu jaga jarak dan jangan pernah melepas atau menurunkan masker. Selalu membawa alat pencuci tangan (hand santizer) di saku atau di tas masing-masing.

Dan dari pihak perusahaan transportasi harus juga membantu pencegahan agar penumpang tidak tertular selama menggunakan jasa trassportasinya. PT KAI sudah memberikan contoh baik dengan memberikan face shield kepada penumpangnya dan wajib dikenakan selama perjalanan.

Beberapa maskapai penerbangan juga sudah menerapkan hal yang sama. Mereka mengosongkan bangku tengah sehingga ada jarak cukup lebar antarpenumpang. Jika penumpang penuh, mereka membagikan face shield. Mengingat sifat penyebaran virus ini yang bisa ditularkan melalui udara (airborne transmission) maka pencegahan dengan mengikuti protokol kesehatan yang sudah ditentukan terasa lebih efektif daripada sekadar membawa surat rapid test. ν

Baca Juga: