AKARTA - Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, pada 2023 terjadi lebih dari 1.060.000 kasus TBC, termasuk 31.000 kasus TBC Resisten Obat (TRO). Hal ini membuat pengobatan tuberkulosis (TBC) semakin kompleks terutama bagi penderita TBC Resisten Obat (ODTBC-RO) yang menghadapi durasi pengobatan yang panjang dan risiko efek samping obat yang merugikan.

Melihat fakta tersebut Stop TB Partnership Indonesia (STPI), sebuah organisasi yang berkomitmen dalam upaya penanggulangan tuberkulosis (TBC) di Indonesia, memperkuat dukungan terhadap inisiatif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan peran aktifnya dalam memerangi masalah kesehatan masyarakat yang mendesak, termasuk TBC yang tetap menjadi masalah utama di Indonesia.

Ketua Pengurus Yayasan STPI, dr. Nurul N Luntungan mengatakan, STPI mengakui pentingnya kemitraan dan inovasi dalam penanggulangan TBC. Dalam hal ini, STPI berperan dalam memperkuat dukungan dan keterlibatan berbagai pihak dan organisasi kesehatan di Indonesia, termasuk lembaga pemerintah, swadaya masyarakat, organisasi profesi, mitra internasional, BUMN, layanan kesehatan, hingga organisasi mahasiswa.

"Selain itu, STPI juga turut berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang TBC dan memobilisasi partisipasi aktif dalam upaya penanggulangan penyakit ini," kata dr. Nurul melalui keterangan tertulis Selasa (26/3).

Dalam upaya memperkuat komitmen penanggulangan TBC di Indonesia, STPI mengadakan berbagai acara dan kampanye. Salah satu yang dilakukan adalah mengadakan kegiatan diskusi edukasi yang mengangkat tema, Menjelang 6 Tahun Target Eliminasi TBC, Indonesia Berkomitmen Perkuat Inovasi & Kemitraan.

Organisasi tersebut juga melibatkan berbagai stakeholder terkait dalam diskusi tersebut, diantaranya Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, D.H.S.M., M.A.R.S selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit KEMENKES RI, dr. Ahmad Fuady, M.Sc., Ph.D., selaku Peneliti TBC Indonesia, dan Yulinda S. selaku Manajer Kasus TBC RO RSUP Persahabatan, termasuk di Nurul sendiri.

"Tidak dapat dipungkiri bahwa mengatasi tuberkulosis memerlukan upaya keras dan kesabaran yang besar, namun hasilnya adalah kesembuhan yang sangat berharga," ungkapnya.

Selain membutuhkan bantuan obat-obatan dan pengawasan yang ketat, penderita TBC juga harus mendapatkan dukungan secara moril dari kerabat terdekatnya. Peneliti TBC Indonesia dr. Ahmad Fuady, M.Sc., Ph.D., mengatakan tidak ada seorang pun yang menginginkan sakit. Harus diakui, individu yang mengidap tuberkulosis adalah bagian dari masyarakat, oleh karena itu, penting untuk memperkuat aspek pencegahan penyakit guna mengurangi risiko terkena penyakit tersebut.

"Namun ketika sudah terjadi, kolaborasi dalam proses penyembuhan menjadi kunci penting. Melihat adanya kerja keras antara pemerintah, organisasi non nirlaba, lembaga masyarakat dan lain-lain dalam memerangi penyakit TBC ini, hal ini tentunya patut diapresiasi," paparnya.

Perwakilan Kementrian Kesehatan RI dr. Tiffany Tiara Pakasi, MA menyatakan terima kasih atas semua upaya yang telah dilakukan untuk menekan angka tuberkulosis di Indonesia. Ia berharap semoga di masa pemerintahan yang baru, dapat mempertahankan prestasi ini dan terus berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.

Manajer Kasus TBC RO RSUP Persahabatan Yulinda mengharapkan STPI selaku Organisasi Non-Profit yang berfokus pada penyakit TBC akan bisa terus menerus menjadi jembatan untuk memberantas tuberkulosis untuk menuju Indonesia yang lebih sehat. Ia berharap STPI dapat bekerja sama dengan berbagai pihak di kemudian hari, seperti dari instansi pemerintah maupun sektor swasta, dalam upaya menurunkan angka kejadian tuberkulosis.

Baca Juga: