Penyelesaian kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama harus komprehensif dan dengan cara luar biasa. Pasalnya, ini termasuk kejahatan luar biasa karena korbannya di bawah umur sehingga mengancam kesehatan mental.

DUNIApendidikan di Tanah Air kembali ternoda oleh kasus kekerasan seksual. Sebanyak 13 santriwati pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani & Madani Boarding School Cibiru, Bandung, mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.

Kasus ini tentunya membuat miris semua pihak. Bagaimana tidak, dari 13 korban itu, delapan anak sampai hamil dan melahirkan. Bahkan, ada satu korban sampai melahirkan dua kali. Kemudian ketika persidangan, bertambah satu bayi lahir dan tiga korban saat ini sedang mengandung. Usia korban juga masih sangat belia karena baru berumur 13 hingga 16 tahun.

Mirisnya lagi, pelaku Herry Wirawan (36) merupakan pimpinan sekaligus guru di Yayasan Pondok Pesantren Tahfidz Madanitersebut.

Perbuatan bejat pelaku diketahui berlangsung sudah cukup lama, sejak 2016 dan masih berlangsung hinggal awal tahun 2021.

Atas perbuatan bejatnya itu, Herry Wirawan didakwa dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara dengan pemberatan. Sementara itu, hukuman kebiri masih dalam kajian tim penuntutan. Hal ini tergantung pada hasil persidangan dan masuk dalam hukuman pemberatan.

Kasus ini pertama kali mencuat ke publik melalui media sosial dalam unggahan politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Nong Andah Darol, Selasa (7/12), usai sidang Herry Wirawan.

Diketahui beberapa korban tersebar di berbagai daerah, di antaranya dari Garut, Tasikmalaya, dan Kota Bandung.

Tercatat di sepanjang tahun 2020, ada 431 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung. Terjadi penambahan 181 kasus dari jumlah total kasus di tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 250 kasus. Ke-431 kasus kekerasan terhadap anak di sepanjang 2020 itu di antaranya terdiri dari 155 kasus kekerasan psikis, 69 kasus pelecehan sosial, dan 55 kasus kekerasan fisik.

Ketua Rabithah Ma'ahid Al Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU), KH Abdul Ghofar Rozin (Gus Rozin), mengatakan penyelesaian kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama harus komprehensif. Beberapa kasus belakangan, termasuk pelecehan terhadap 13 santriwati oleh pemilik boarding school di Antapani, Bandung, jangan sampai terulang lagi.

"Harus ada pendekatan yang komprehensif, menyelesaikan akar masalah kejahatan ini," kata Gus Rozin kepada Koran Jakarta, Jumat (17/12).

Dia menyebut kejahatan seksual, terutama terhadap anak di bawah umur, adalah kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Penanganannya pun harus secara luar biasa pula.

"Kejahatan ini menimbulkan trauma dan mengancam kesehatan mental para kader bangsa," jelasnya.

Lebih jauh, Gus Rozin menerangkan kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, tidak hanya di pesantren. Termasuk kejadian terakhir di Antapani, lebih tepat disebut boarding school. Sebab dari sistem pendidikan, pengasuhan, dan kultur berbeda dengan pesantren.

"Kepala sekolah, pembimbing, kepala asrama, pengasuh pesantren, para ustaz harus diberikan pelatihan atas isu ini," katanya.

Hukuman Berat

Gus Rozin menilai pengetatan izin dan investigasi dari pemerintah pusat belum tentu efektif. Justru cara komprehensif seperti membangun pendidikan ramah anak, pembatasan peredaran pornografi, dan lain sebagainya.

Dia menyarankan investigasi harus berujung pada hukuman yang berat dan memberikan efek jera. Menurutnya, perlu ada daftar hitam pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan dibuka secara umum.

Dia memastikan RMI PBNU dengan basis pondok pesantren sebanyak 26.000 berkomitmen mencegah terulangnya kasus serupa. ruf/S-2

Baca Juga: