JAKARTA - Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harusnya lebih mengutamakan upaya-upaya yang bersifat promotif dan preventif. Kenyataannya penerapan K3 di Indonesia lebih bersifat reaktif dan kuratif. Ini mengindikasikan bahwa penerapan K3 lebih untuk memenuhi kewajiban, dan belum menjadi kebutuhan atau budaya.

Demikian disampaikan Dekan Fakultas Kedokteran, President University (Presuniv), Prof. Dr. dr. Budi Setiabudiawan dalam seminar Budaya K3, Sehat dan Selamat dalam Bekerja, Terjaga Kelangsungan Usaha di Tempat Kerja, Bergerak Bersama Komunitas Industri Jababeka. Seminar diselenggarakan akhir pekan lalu di Presuniv Convention Center, kawasan industri Jababeka, Cikarang, Jawa Barat.

Seminar ini juga diselenggarakan dalam rangka memperingati bulan K3 nasional yang bertema Budayakan K3, Sehat dan Selamat dalam Bekerja, Terjaga Keberlangsungan Usaha.

Seminar ini menghadirkan empat narasumber. Mereka adalah Dr. dr. Sudi Astono, MS (MKK), Koordinator Pemeriksaan Norma K3 di Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, Kementerian Tenaga Kerja RI, Nur Hidayah Setyowati, Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial, Dinas Tenaga, Kabupaten Bekasi, serta dua dosen Fakultas Kedokteran, Presuniv, Dr. dr. Reza Yuridian Purwoko, dan dr. Rima Melati

Dalam sambutan pembukanya Maria Jacinta menekankan bahwa biaya yang mesti ditanggung jika terjadi kecelakaan kerja bisa sangat mahal. "Padahal, kecelakaan kerja bisa terjadi di mana saja, kapan saja," ungkap Maria Jacinta. Maka, lanjut dia, seminar ini menjadi sangat penting. "Kita memerlukan lebih banyak lagi kegiatan tentang K3, sebab masih banyak kasus kecelakaan kerja. Selain itu juga masih banyak kasus yang muncul sebagai Penyakit Akibat Kerja atau PAK," ungkap Maria.

Sementara, Prof. Budi menekankan bahwa selain sebagai aset perusahaan, para pekerja adalah penggerak perekonomian bangsa. "Dan, yang juga tidak boleh dilupakan, para pekerja adalah tulang punggung keluarga," tegas Prof. Budi. Dengan kondisi yang semacam itu, lanjut dia, kesehatan dan keselamatan pekerja harus menjadi tujuan penting dalam penerapan budaya K3 di Indonesia.

Budi juga menekankan pentingnya kita untuk mengantisipasi perubahan lingkungan kerja. Paparnya, "Kita sedang berada dalam masa transisi menuju era Industry 5.0. Era tersebut akan memicu munculnya beberapa perubahan. Misalnya, munculnya budaya kerja baru, bentuk dan pola kerja baru, perubahan jam kerja, dan bahkan lahirnya profesi-profesi baru.

Semua itu, lanjut Budi, akan mempengaruhi risiko K3 bagi para pekerja. "Kondisi tersebut memerlukan penyesuaian, transformasi dan inovasi, pada semua sektor kehidupan dengan tetap menjaga efektivitas dan efisiensi dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan PAK," urai Budi.

Di Fakultas Kedokteran, Presuniv, lanjut dia, para mahasiswanya sejak awal sudah diperkenalkan dengan budaya K3 melalui kurikulum dan kecirian kesehatan kerja. Paparnya, "Mereka sedini mungkin juga sudah memperoleh paparan program-program K3 langsung dari lapangan. Ini agar mereka lebih memahami upaya untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan pekerja, dan bisa melakukan inovasi baru dalam bidang K3,"ujarnya.

Sementara, Sudi Astono mencatat jumlah pekerja yang mengalami Kecelakaan Kerja (KK) dan PAK terus meningkat. Jika tahun 2020 jumlahnya mencapai 221.740 pekerja, pada 2021 menjadi 234.370 atau naik 5,6%. Seiring dengan itu, biaya Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang dikeluarkan BPJS Ketenagakerjaan juga meningkat lebih dari 14% dari Rp1,56 triliun (2020) menjadi Rp1,79 triliun (2021).

Dari sisi usia, kelompok yang terbesar mengalami KK dan PAK adalah pada rentang usia 25 s/d 30 tahun. "Mereka betul-betul kelompok usia yang sangat produktif. Ini tentu menjadi kerugian bagi kita," tegas Sudi Astono.

Beranjak dari data tersebut, senada dengan Prof. Budi Setiabudiawan, Sudi Astono juga memandang penting upaya promotif dan preventif, ketimbang yang reaktif dan kuratif. Melihat besarnya alokasi dana JKK dari BPJS Ketenagakerjaan, menurut Sudi Astono, terlihat bahwa penanganan K3 masih lebih ke arah reaktif dan kuratif. "Dari situ terlihat bahwa K3 masih belum menjadi budaya perusahaan," tegas dia.

Menurut Sudi Astono, kasus-kasus K3 berbanding terbalik dengan daya saing suatu negara. "Jika kasus-kasus K3 meningkat, maka daya siang suatu negara akan menurun. Dan, sebaliknya," ungkap dia. Maka, lanjut Sudi Astono, jika Indonesia ingin meningkat daya saingnya, upaya-upaya promotif dan preventif harus diutamakan. Bukan sebaliknya, reaktif dan kuratif.

Baca Juga: