Moskow - CEO Telegram Pavel Durov berpotensi mengalami nasib serupa dengan pendiri WikiLeaks Julian Assange karena aplikasi perpesanan buatannya menghargai kebebasan berpendapat hingga mengganggu banyak politisi, kata sejumlah ahli kepada Sputnik.
Media Prancis melaporkan bahwa Durov telah ditahan di bandara utara Paris setelah tiba dari Azerbaijan pada Sabtu.
Durov, yang memiliki kewarganegaraan ganda Rusia-Prancis, telah didakwa melakukan pelanggaran terkait penggunaan aplikasinya secara kriminal, termasuk terorisme, perdagangan narkoba, pencucian uang, dan penipuan, yang dapat membuat miliarder berusia 39 tahun itu dipenjara hingga 20 tahun.
"Telegram adalah platform yang hanya menyensor sedikit konten dan sikap mereka yang mengizinkan hampir semua konten di platform mereka telah mengganggu para politisi di Barat dan Rusia sejak lama. Sedihnya, sepertinya Durov mungkin menjadi Julian Assange berikutnya," kata Pascal Lottaz, profesor studi netralitas di Universitas Kyoto.
Lottaz mengemukakan bahwa banyak orang menduga bahwa penahanan Durov adalah upaya Perancis - dan juga organisasi regional Uni Eropa - untuk menindak Telegram.
"Penangkapan ini sangat mengejutkan. Telegram adalah aplikasi yang memungkinkan Anda berkomunikasi dengan bebas. Penangkapan ini tidak didasarkan pada apa pun kecuali tekanan," kata politisi dan penulis Prancis Arash Derambarsh.
Sebelumnya pada Juni, pengadilan Amerika Serikat di Kepulauan Mariana Utara menjatuhkan hukuman kepada Assange sebagai bagian dari kesepakatan pembelaan dengan jaksa federal yang mengakhiri perjuangan hukumnya selama 14 tahun melawan ekstradisi ke AS.
Assange selama bertahun-tahun menghadapi tuntutan berdasarkan Undang-Undang Spionase karena memperoleh dan mengungkapkan informasi rahasia yang menjelaskan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan AS di Irak dan Afghanistan.
Penahanan CEO Telegram Durov Bisa Menjadi Kasus Assange Kedua
27 Agustus 2024, 00:06 WIB
Waktu Baca 1 menit