Apabila rencana pembangunan ibu kota baru tetap dipaksakan saat ini, dikhawatirkan semakin menambah beban perekonomian.

JAKARTA - Pemerintah diminta menunda rencana pemindahan Ibu Kota Negara, mengingat saat ini dinilai bukan momentum yang tepat lantaran pandemi Covid-19 belum berakhir. Negara dinilai tidak memiliki kapasitas ekonomi dan keuangan memadai untuk membiayai pembangunan Ibu Kota baru.

Utang pemerintah terus meningkat yang sekarang diperkirakan berjumlah 6.300 triliun rupiah dan diperkirakan akan berjumlah 10.000 triliun rupiah pada 2024. Kondisi tersebut dikhawatirkan cukup membebani perekonomian.

Di sisi lain, penerimaan negara dari sektor pajak justru semakin turun yang diukur dari tax ratio-nya. Rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2020 mencapai 7,9 persen, di bawah capaian pada 2018 sebesar 10,2 persen.

Pada saat bersamaan, pertumbuhan ekonomi juga dalam tren penurunan. Sebagai catatan, pada 1976- pertengahan 1980-an, ekonomi tumbuh 8 persen, pada periode 1987- 1996 tumbuh 7 persen, pada periode 2005-2011 ekonomi tumbuh 6 persen dan periode 2012-2018 tumbuh 5 persen.

Ekonom Senior, Fadhil Hasan, menilai fundamental ekonomi bisa dikatakan lemah bahkan sebelum pandemi Covid- 19. Dia menambahkan pertumbuhan industri manufaktur sebesar 2,3 persen, sementara ekonomi tumbuh sebesar 4,6 persen pada 2009, dan pada 2018 komposisinya belum berubah banyak.

"Ini hanya akan menambah beban perekonomian," tegas Fadhil dalam diskusi terkait pemindahan Ibu Kota baru di Jakarta akhir pekan lalu.

Bagi Fadhil, argumentasi pembiayaan IKN dari swasta sulit diterima sebab partisipasi swasta bisa terealisasi jika kondisi perekonomian dalam keadaan baik dengan tren yang meningkat dan kondisi iklim investasi kondusif. Menurutnya, wacana pemindahan Ibu Kota hanya terjadi di kalangan elite dan lebih bersifat teknokratis, kurang partisipatif dan akuntabel.

"Terjadi gap antara publik dan negara dalam wacana pemindahan Ibu Kota ini, padahal ini mestinya menjadi wacana publik, dikenal luas," ujarnya.

Fadhil menambahkan, DPR pun baru akan membahas RUU Ibu Kota ini tahun ini. Bahkan, draf RUU dari pemerintah pun belum DPR terima. Artinya, peletakan batu pertama pembangunan Ibu Kota ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya.

Seperti diketahui, pembangunan IKN akan dimulai tahun ini, bahkan peletakan batu pertama secara resmi akan dilakukan pada Ramadan ini. Target pembangunan IKN baru hingga 2024 mencakup pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) seluas 56,000 hektare (ha) dengan sarana dan prasarana pendukungnya dari 256,142 ribu ha dan sisanya dipersiapkan untuk selanjutnya dibangun pembangunan kota termasuk areal hijau dan terbuka.

Dari sisi anggaran, dibutuhkan anggaran sebesar 500 triliun rupiah yang mana sebesar 1 persen akan berasal dari pemerintah dan sisanya diharapkan berasal dari investor melalui skema kemitraan pemerintah dan swasta dan swasta murni.

Prioritaskan Pemulihan

Sementara itu, Direksi Narasi Insitute, Achmad Nur Hidayat MPP, menegaskan tidak ada argumen kuat dan mendesak untuk memindahkan IKN saat ini. Menurutnya, hal paling mendesak saat ini adalah pemulihan dari krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

"Jika kita memiliki pertumbuhan yang lebih baik, penanganan pandemi Covid-19 telah terkelola dengan baik, pembangunan infrastruktur yang lebih merata, dan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik, pemindahan Ibu Kota dapat dipertimbangkan," pungkas Achmad Nur.

Baca Juga: