Sebentar lagi sejumlah daerah menyelenggarakan pilkada, baik untuk gubernur, bupati, maupun wali kota. Sejumlah orang dan partai sudah mulai menjajaki kerja sama dan kemungkinan menjalin koalisi. Salah satu yang tengah disorot adalah langkah yang ditempuh Khofifah Indar Parawangsa yang masih malu-malu mau maju pilkada Jatim. Padahal, dia sudah dua kali kalah menjago gubernur Jatim.

Selain itu, sama-sama warga NU, Saifullah Jusuf, yang sekarang Wagub Jatim, juga bakal maju untuk memperebutkan posisi nomor satu Jatim. Sebenarnya, masyarakat harus diingatkan, sebaiknya memilih pejabat yang fresh, sama sekali baru. Tidak tahu apa yang mau dicari. Khofifah sudah menjabat Menteri Sosial, kalau benar mau menjago gubernur Jatim, apa yang dicari. Selain sudah dua kali kalah, dia juga sudah beberapa kali menjadi menteri. Mbok ya sudah, memberi kesempatan kepada orang lain untuk menjabat.

Era Gus Dur sudah menjadi menteri. Ketika gagal karena kalah dengan Sukarwo di Jatim, malah diangkat menjadi menteri oleh Presiden Joko Widodo. Mengapa masih juga mau maju menjadi gubernur Jatim. Demikian juga dengan Syaiful, sekarang sudah menjabat wagub. Dulu pernah menjadi menteri.

Sebaiknya masyarakat memilih para calon yang belum pernah menjabat. Jangan lagi orang itu-itu lagi. Biar ada regenerasi. Jangan hanya orang-orang tertentu yang menjabat. Ini juga berlaku bagi daerah lain. Ini juga berlaku bagi posisi bupati atau wali kota dan wakil-wakil. Kalau sudah menjadi wakil wali kota atau wakil bupati, janganlah dipilih lagi. Biarkan orang lain diberi kesempatan. Para wakil sudah jangan maju lagi untuk posisi yang lebih tinggi.

Demikian juga Presiden sebaiknya mengangkat menteri jangan orang-orang yang sudah pernah menjadi menteri. Sekarang, setidaknya tiga menteri tengah digoyang untuk dijatuhkan dengan berbagai cara busuk. Mereka adalah Menteri ESDM, I Jonan, Menteri KKP, Pujiastuti, dan Menteri Pendidikan, Muhajir. Dengan berbagai cara, parpol menggoyang mereka untuk menjatuhkan.

Kalau terjadi penggantian menteri, Presiden sebaiknya juga menunjuk orang-orang baru yang belum pernah menjabat. Demikian juga para staf khusus mestinya jangan mengangkat orang yang pernah menjabat. Jadi, biar ada peremajaan. Rasanya jenuh melihat yang menjabat mereka-mereka saja, orang-orang itu saja.

Selain itu, para calon sebaiknya juga tahu diri. Kalau sudah pernah menjabat, apalagi berkali-kali atau setidaknya lebih dari satu kali, mbok ya jangan mencalonkan diri. Nanti dikatakan gila atau pengejar jabatan, tidak mau. Padahal nyatanya memang berambisi. Para pemilih dalam pilkada hendaknya memilih orang baru.

Partai-partai pun mestinya juga mengajukan calon yang baru. Jangan mencalonkan berdasarkan KKN. Sudah jelas tidak berkualitas dan pernah menjabat, karena KKN, parpol memajukannya juga untuk menjadi pejabat atau maju dalam pilkada. Marilah membiasakan diri untuk mengerem hasrat berkuasa terus-menerus.

Sudah cukup kalau pernah diberi kesempatan. Ini pun juga berlaku dalam pencalonan presiden. Kalau sudah pernah maju dan kalah ya sebaiknya menyerahkan kesempatan kepada orang lain, siapa tahu dia lebih mampu dan menang. Jadi, setiap orang bukan hanya harus tahu diri, tetapi mampu mengukur kualitas dan melihat kepercayaan rakyat.

Memang kekuasaan akan terus mendorong berkuasa lebih tinggi lagi. Yang berkuasa kalau mungkin secara hukum akan terus mengangkangi kekuasaannya. Bahkan, kalau bisa ketentuan diubah agar bisa tetap berkuasa. Hiduplah secukupnya. Kalau sudah pernah menjabat, jangan lagi mau dicalonkan. Biarlah ratusan juta orang lainnya juga berkesempatan menjadi pejabat.

Baca Juga: