Aksi Unjuk Rasa

HONG KONG - Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, pada Selasa (2/6) menuding Amerika Serikat (AS) telah menerapkan standar ganda dalam tanggapannya terhadap aksi protes yang disertai kekerasan. Tudingan itu dikemukakan Lam ketika ia memperingatkan rencana Washington DC untuk memberlakukan pembatasan perdagangan pada Hong Kong yang hanya akan membahayakan AS saja.

Hong Kong sebelumnya telah diguncang oleh protes prodemokrasi besar-besaran selama berbulan-bulan dan sering disertai kekerasan selama setahun terakhir, dan polisi telah melakukan lebih dari 9.000 penangkapan selama aksi protes itu.

Washington DC semakin kritis terhadap aksi demonstrasi di Hong Kong setelah Presiden AS, Donald Trump, pekan lalu bersumpah untuk mengakhiri status perdagangan khusus pada kota itu setelah Beijing mengumumkan rencana untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong.

"Langkah seperti itu akan merugikan diri sendiri," kata Lam sembari menyindir pemerintahan Trump dalam menanggapi aksi protes menuntut keadilan rasial yang melanda Negeri Paman Sam. "Kami telah menyaksikan dengan amat jelas dalam beberapa pekan terakhir bahwa ada standar ganda," kata Lam dalam konferensi pers dihadapan awak media.

"Kalian tahu ada kerusuhan di AS dan kami melihat bagaimana pemerintah setempat bereaksi. Dan kemudian di Hong Kong, ketika kami mengalami kerusuhan serupa, kami menyaksikan sikap apa yang mereka adopsi saat itu," imbuh dia.

Baik pejabat Tiongkok dan Hong Kong telah memanfaatkan kerusuhan yang mencengkeram AS dalam upaya propaganda mereka untuk membenarkan tindakan keras mereka sendiri terhadap protes prodemokrasi dan rencana pemberlakuan hukum keamanan nasional.

Pekan lalu, parlemen Tiongkok menyetujui rencana undang-undang yang akan menghukum pelaku yang mempromosikan pemisahan diri, subversi kekuasaan negara, terorisme dan tindakan yang membahayakan keamanan nasional, serta memungkinkan lembaga keamanan Tiongkok beroperasi secara terbuka di Hong Kong.

Beijing mengatakan undang-undang antisubversi yang akan melampaui wewenang legislatif Hong Kong, diperlukan untuk mengatasi terorisme dan separatisme.

Penentang khawatir undang-undang ini akan membawa penindasan politik bergaya Tiongkok daratan ke Hong Kong, padahal seharusnya Beijing harus menjamin kebebasan dan otonomi selama 50 tahun setelah penyerahan Hong Kong dari Inggris ke Tiongkok pada 1997.

Isu Otonomi

Dalam konferensi pers mingguan pada Selasa, Lam mengatakan Hong Kong telah menghabiskan waktu selama 23 tahun karena gagal memberlakukan undang-undang keamanan nasionalnya sendiri di badan legislatif, hingga kemudian mendorong Beijing untuk mengambil inisiatif.

"Tidak ada justifikasi apa pun bagi pemerintah mana pun, ekonomi apa pun, untuk menjatuhkan sanksi kepada Hong Kong sebagai akibat dari proses yang sangat sah dari pemerintah pusat, otoritas pusat, mengambil keputusan ini untuk memberlakukan undang-undang bagi Hong Kong untuk melindungi nasional dengan lebih baik keamanan," kata Lam.

"Mereka (AS) akan mencederai kepentingannya sendiri di Hong Kong," imbuh dia dengan merujuk ancaman AS untuk membatasi hak perdagangan.

Di bawah aturan legislasi 1992, AS memperlakukan Hong Kong sebagai entitas perdagangan yang terpisah dengan Tiongkok daratan selama kota itu bisa mempertahankan kebebasan dan otonominya. Bulan lalu Kementerian Luar Negeri AS mengumumkan Hong Kong saat ini tidak lagi memiliki otonomi yang cukup bagi mendapatkan status khusus itu. eko/AFP/I-1

Baca Juga: