» Kalau energi dan pangan yang fundamental terus diabaikan maka pemerintah akan terus berutang di atas utang.

» Mereka bukannya tidak mengerti membangun ekonomi, cuma sudah bersikap EGP (emang gue pikirin) dengan negaranya.

JAKARTA - Sepanjang pekan ini, para pejabat sibuk menyampaikan pernyataan kalau eskalasi konflik di Timur Tengah yang meluas setelah Iran menyerang balik Israel akan berdampak pada perekonomian Indonesia. Padahal, jika dicermati sebenarnya tidak berkaitan. Sistem pemerintahan RI yang tidak bisa melawan persaingan global akibat kebijakan yang dibangun melemahkan ekonomi bangsa.

Konflik juga tidak ada hubungannya dengan rupiah, tetapi karena perekonomian yang buruk maka otomatis kurs rupiah terpuruk.

Sebagai negara yang sudah lama jadi net importir bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga minyak dunia akhirnya berimbas karena abai dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT).

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, pada Jumat (19/4), mengatakan di sisi lain, rakyat saat ini hidup susah, kondisi keuangannya mayoritas sangat lemah, bahkan daya belinya habis sama sekali.

Dalam kondisi seperti itu, tidak ada satu pun negara di dunia, kecuali Indonesia, yang memberikan bantuan sosial (bansos) secara rutin. "Tidak ada yang memberlakukan itu, karena uang hilang dan tidak menghasilkan produktivitas apa pun, hanya untuk makan dari hari ke hari. Mana ada negara di dunia yang belanja negaranya (APBN) habis untuk makan, tanpa produktivitas," kata Aditya.

Makanya, sistem komunisme dan sosialis tidak akan bisa bertahan. Hal itu yang mendorong Tiongkok membuka pasar dengan memberdayakan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Melalui cara itulah, rakyat bisa mengembalikan bantuan negara dengan pendapatan dan kontribusi pajak. Apalagi kalau ekspor bisa berkontribusi dalam perolehan devisa.

"Tapi kalau untuk makan dan konsumsi, ya habis. Apa mau tiap bulan bikin bansos? Terus bagaimana nanti uang kita? Makanya, uang ratusan triliun atau bahkan ribuan triliun rupiah untuk konsumsi impor tidak menghasilkan apa-apa. Berbeda kalau belanja negara untuk membangun pertanian dan memajukan sektor riil dan UMKM itu akan balik ke negara," katanya.

Sayangnya, kata Aditya, pemerintah sudah bertahun-tahun tidak mau belajar dari kesalahan, malah terus berulang. Rupiah jebol bukan karena perang di Timur Tengah, tapi lebih berkaitan dengan perekonomian nasional yang buruk. Kalau kreditur menjual surat utang Indonesia, hal itu karena mereka melihat ada surat utang negara lain yang lebih menjanjikan.

"Apalagi Bank Indonesia (BI) tidak mau menaikkan suku bunga acuan BI7days Reverse Repo Rate hanya demi melindungi temannya. Kalau kita tidak memperkuat fundamental fiskal dan treasury dan trade defisit, bagaimana mempertahankan nilai rupiah?" katanya.

Kalau pengembangan teknologi dan modal sektor riil yang dikembangkan berbasis impor, kalau nilainya naik dalam rupiah, maka akan memicu inflasi. "Inflasi kan jelas meningkatkan jumlah kemiskinan. Kemampuan rakyat yang sudah lemah semakin lemah. Jangan lihat kaitan orang perang di ujung sana? Kalau kita badannya tidak sehat, jangan salahkan orang lain di tempat jauh," urainya.

Kalau hal yang fundamental yaitu energi dan pangan terus diabaikan maka pemerintah akan terus berutang di atas utang, lalu BI terus mencetak duit. Akibatnya defisit APBN, defisit neraca perdagangan, dan defisit transaksi berjalan akan melebar. Berapa lama rupiah bisa bertahan..

Sektor riil juga tidak bisa bersaing, bahkan untuk industri dasar yang rendah teknologi sekalipun. "Bagaimana mau bicara industri yang teknologi canggih. Bagaimana impor substitusi kalau barang impor lebih murah. Bagaimana bisa bertahan kalau impor pangan kita tidak pernah turun, impor jagung, tepung terigu, meningkat terus. Mau makan saja tergantung negara lain," kata Aditya.

Menurutnya, utang negara sudah mendekati 8.000 triliun rupiah, tapi masih ada saja pengusaha yang memperoleh marjin di atas 100 persen, tapi utangnya tidak bayar, maka sangat tidak mungkin ekonomi Indonesia bisa sembuh hanya dengan kebijakan moneter dan fiskal.

"Nggak bakal sembuh, menunda pembayaran malah sakitnya semakin parah. Gimana bayarnya 8.000 triliun rupiah? Bayar bunganya saja susah. Pembayaran pajak tidak bisa meningkat begitu cepat. Tidak bisa mengejar kenaikan utang.

"Sepuluh tahun lalu kita peringatkan, kebayang tidak sampai delapan ribu triliun rupiah. Sampai hari ini, piutang BLBI tidak pernah ditagih," katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, mengatakan sejak 10 tahun lalu kita peringatkan situasi fiskal kita gara-gara BLBI, tapi tidak pernah digubris. Dikira dengan melupakan utang BLBI akan hilang dengan sendirinya? Bukannya hilang, tapi akan terus bertambah," papar Hardjuno.

Pertanyaannya, kalau utang RI sudah tembus 10 ribu triliun rupiah atau 12 ribu triliun rupiah, dan pasti akan cepat sekali melaju ke sana. "Coba gimana cara bayarnya. Artinya, rupiah harus collapse. Apa harus menunggu rupiah collapse? kan tidak.

Perusahaan teknologi asal Amerika Serikat (AS), Apple, mau membuka fasilitas perakitan di Indonesia dan Asia Tenggara dari Tiongkok karena mau melepas kebergantungan supply chain dari Tiongkok.

"Diketahui Apple berinvestasi senilai 1,6 triliun rupiah di Indonesia. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan investasi Apple Vietnam sebesar 256 triliun rupiah. Kita paling hanya jadi perakit saja. Memang betul akan membuka lapangan kerja, tapi hanya labour, buruh murah, bukan teknologi tinggi. Berapa besar kita tergantung hanya karena buruh murah saja. Kita tidak punya industri dasar yang kuat, begitu pula industri teknologi yang tinggi," kata Hardjuno.

Sibuk Berpolitik

Dihubungi terpisah, Peneliti Pusat Riset Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, menyoroti para pemimpin yang terus sibuk mengundang investor, tapi tidak ada yang mau datang.

"Investasi yang masuk hanya menjadikan kita sebgai perakit saja. Masa untuk pemilu kita pakai server Alibaba dari Tiongkok. Padahal, database sangat strategis, masa bocor ke pihak luar, makanya kita tertinggal jauh. Lebih gila lagi, mereka tidak perduli negara bangkrut. Tidak sayang dengan negaranya. Masa bodoh dan terkesan berprinsip EGP, emang gue pikirin," katanya.

Pemimpin seperti sudah tidak peduli. Tidak ada satu pun pemimpin yang tidak EGP. Mereka bukannya tidak mengerti, cuma sudah EGP, sudah tidak mau mikirin," kata Siprianus.

Ajakan agar investor internasional masuk ke Indonesia tidak akan mengubah kondisi ekonomi nasional. Karena keuntungan yang terbesar akan diperoleh investor, jika kita tidak membangun ekonomi kita sendiri.

"Kalau investor internasional itu hengkang, teknologinya juga hilang, karena bukan milik kita. Itu milik mereka. Coba lihat di Tiongkok, banyak industri besar yang cabut karena kebijakan pemerintah, tapi Tiongkok tidak terpengaruh karena industri dasar mereka kuat. Toyota berpuluh-puluh tahun untung besar di sini, tapi yang dibangun jalan tol. Tiongkok tidak punya Google, tapi punya Baidu. Mereka tidak punya WA, tapi punya WeChat. Bagaimana dengan Indonesia, kita tidak punya sama sekali," katanya.

Jika satu negara tidak memiliki industri nasional maka mustahil untuk melakukan diversifikasi. "Kalau bikin sekrup, ya hanya sekrup. Kita tidak bisa bikin mesinnya. Indonesia mengemis ke investor, tapi tidak punya tandingannya. Menarik investor luar negeri saja tidak akan bisa memperbaiki kondisi fondasi keuangan, industri, teknologi, dan ekonomi yang sangat rapuh," tutupnya.

Baca Juga: